Pengembangan Perkebunan Besar di Indonesia
Situsekonomi.com - Pada mulanya, Serikat Hindia Belanda Timur (SHBT) menyadari bahwa dalam rangka pengembangan perkebunan besar, masalah sistem agraria merupakan salah satu masalah pokok yang seharusnya diselesaikan lebih dahulu. Kemudian, tepat pada tahun 1828 dikeluarkan perundangan tentang penggunaan tanah yang tidak diusahakan oleh pihak swasta (Syechalad, 2009: 20).
Pada tahun 1854, diadakan sistem penyewaan tanah untuk tanaman tebu di Wilayah Yogyakarta dengan sistem sewa tanah selama 25 tahun. Melalui cara penyewaan tanah seperti ini diharapkan perkebunan tebu dapat berkembang seperti yang direncanakan semula karena sistem sewa tanah tersebut tidak menarik minat pihak investor (Syechalad, 2009: 21).
Setelah perundangan mengenai gula diperbaiki pada tahun 1870 dan perundangan penyewaan tanah tahun 1871, sehingga dapat memberikan suatu rangsangan untuk mendirikan pabrik gula. Pada dekade 1870-an ditetapkan bahwa sistem hak guna tanah di wilayah pertanian ditentukan oleh kolonial Belanda, terutama tanah-tanah yang boleh digunakan untuk perkebunan.
Serikat Hindia Belanda Timur berdasarkan perundangan agraria tahun 1870, secara bertingkat mengembangkan perusahaan perkebunan besar. Namun demikian, wilayah kawasan pertanian pemerintahan, seperti di daerah Sumatera, pelaksanaan sistem kawasan tanah berdasarkan hak konsesi jangka panjang masih sedang dipertahankan contohnya tembakau deli.
Bersamaan dengan peristiwa itu diwujudkan sistem pengawasan tanah, khususnya untuk tebu di Pulau Jawa. Dalam hal itu, penyewaan jangka pendek (16 bulan) untuk tanaman tebu dan penyewaan jangka panjang (21 tahun) untuk tujuan pembinaan sarana pengangkutan, dan pembinaan untuk menggunakan hak tanah yang dikembangkan di suatu wilayah.
Penyewaan tanah untuk tanaman tebu hanya masa 16 bulan, sesuai dengan sistem reynoso, yaitu penanaman di sawah yang ada pengairannya. Hak guna usaha ataupun penyewaan jangka panjang atas tanah pemerintahan, pada dasarnya seolah-olah dapat suatu jaminan kredit untuk perbankan dan pinjaman untuk para pekebun.
Perundangan Agraria tahun 1870 tersebut menggunakan dasar, di mana tanah yang tidak ada sertifikat secara sah dimiliki oleh pihak tertentu, dan dikuasai oleh negara. Dengan dasar ini, maka pihak pemerintah dapat menyelenggarakan penggunaannya termasuk memberikan hak-hak tertentu kepada setiap individu ataupun perusahaan perkebunan tertentu.
Pada tahun 1854, diadakan sistem penyewaan tanah untuk tanaman tebu di Wilayah Yogyakarta dengan sistem sewa tanah selama 25 tahun. Melalui cara penyewaan tanah seperti ini diharapkan perkebunan tebu dapat berkembang seperti yang direncanakan semula karena sistem sewa tanah tersebut tidak menarik minat pihak investor (Syechalad, 2009: 21).
Setelah perundangan mengenai gula diperbaiki pada tahun 1870 dan perundangan penyewaan tanah tahun 1871, sehingga dapat memberikan suatu rangsangan untuk mendirikan pabrik gula. Pada dekade 1870-an ditetapkan bahwa sistem hak guna tanah di wilayah pertanian ditentukan oleh kolonial Belanda, terutama tanah-tanah yang boleh digunakan untuk perkebunan.
Serikat Hindia Belanda Timur berdasarkan perundangan agraria tahun 1870, secara bertingkat mengembangkan perusahaan perkebunan besar. Namun demikian, wilayah kawasan pertanian pemerintahan, seperti di daerah Sumatera, pelaksanaan sistem kawasan tanah berdasarkan hak konsesi jangka panjang masih sedang dipertahankan contohnya tembakau deli.
Bersamaan dengan peristiwa itu diwujudkan sistem pengawasan tanah, khususnya untuk tebu di Pulau Jawa. Dalam hal itu, penyewaan jangka pendek (16 bulan) untuk tanaman tebu dan penyewaan jangka panjang (21 tahun) untuk tujuan pembinaan sarana pengangkutan, dan pembinaan untuk menggunakan hak tanah yang dikembangkan di suatu wilayah.
Penyewaan tanah untuk tanaman tebu hanya masa 16 bulan, sesuai dengan sistem reynoso, yaitu penanaman di sawah yang ada pengairannya. Hak guna usaha ataupun penyewaan jangka panjang atas tanah pemerintahan, pada dasarnya seolah-olah dapat suatu jaminan kredit untuk perbankan dan pinjaman untuk para pekebun.
BACA JUGA:
Perundangan Agraria tahun 1870 tersebut menggunakan dasar, di mana tanah yang tidak ada sertifikat secara sah dimiliki oleh pihak tertentu, dan dikuasai oleh negara. Dengan dasar ini, maka pihak pemerintah dapat menyelenggarakan penggunaannya termasuk memberikan hak-hak tertentu kepada setiap individu ataupun perusahaan perkebunan tertentu.