Perkembangan Perkebunan: Periode 1951-1970
Situsekonomi.com - Sepanjang tahun ini ditandai dengan beberapa ciri dari berbagai aktivitas yang sangat penting seperti berikut:
Asas dan hak-hak kuasa negara masih sedang dipertahankan. Beigitupun juga hak rakyat masih dipertahankan selagi tidak bertentangan dengan perundangan. Dalam ketentuan ini, penguasa tanah ditentukan seperti berikut:
- Konsolidasi dan usaha untuk memperbaiki perkebunan.
- Bertambahnya jumlah perkebunan swasta di Indonesia.
- Penguasaan kawasan tanpa perizinan dari penduduk.
- Pengambilalihan kekuasaan oleh pemerintah setempat yang semula perkebunan dikuasai oleh Pemerintah Belanda.
- Pengawasan langsung oleh pemerintah atas keseluruhan perkebunan yang bukan milik Belanda (Alamsyah, 1993).
Masalah pengalihan ini hanya melibatkan usaha penyatuan dan memperbaiki kebun yang masih cukup baik untuk diusahakan terus. Proses bertukarnya pemilikan yang dilaksanakan di antara pihak swasta Indonesia dengan pemilik lama disebabkan oleh berkurangnya jumlah perkebunan pada tahun 1950-an (Sartono, 1991). Pada waktu itu, jumlah kawasan perkebunan yang dikuasai oleh badan-badan perkebunan ini mengalami penurunan dari 1.819.000 Ha berkurang hingga 841.000 Ha (Direktorat Jenderal Perkebunan, 1991).
Pemulihan kawasan kebun oleh penduduk tanpa persetujuan pihak pemerintah telah dimulai pada tahun 1943 dan terus berlanjut hingga tahun 1958. Berdasarkan pada informasi yang ada hingga tahun 1957, dari 322 perkebunan telah diwujudkan penggunaan kebun tanpa disetujui pihak pemerintah (Syechalad, 2009: 31).
Kawasan yang dikuasai ialah seluas 195.500 Ha. Pada waktu tersebut luas kawasan perkebunan tembakau deli telah menurun dari 226.000 Ha menjadi 125.000 Ha. Pada tahun 1960, luas kawasan tersebut telah berkurang sejumlah 60.000 Ha. Ini berlaku sampai sekarang, dan sebagiannya telah mengalami perubahan untuk dijadikan kawasan perkebunan kelapa sawit, kakao, tebu dan sebagainya.
Menurut Sartono (1991), pengambilan kuasa perkebunan milik Belanda dimulai pada tahun 1959 dan berlangsung hingga tahun 1962, hal ini dilaksanakan sehubungan dengan perjuangan pengembalian Irian Barat kepada Pemerintah Indonesia. Hasil dari penyerahan kuasa pihak Belanda untuk Pemerintah Indonesia, di mana jumlah perkebunan pada tahun 1949 sebanyak 52 buah dengan luas tanah 47,000 Ha telah dikuasai sepenuhnya oleh Perusahaan Perkebunan Negara (PPN).
Jumlah perkebunan milik Swasta Belanda yang diambil alih sejumlah 2.911 buah, ini dikuasai oleh PPN. Penyesuaian yang terjadi dalam organisasi perusahaan negara telah terjadi beberapa kali (Syechalad, 2009: 32).
Pada tahun 1963-1964, untuk pertama kali dilakukan perubahan organisasi perkebunan berdasarkan komoditi dan tiap-tiap organisasi diharuskan untuk memiliki suatu Badan Pimpinan Umum (BPU). Pada akhirnya, ini dikenal sebagai BPU karet.
Di ujung tahun 1960-an telah dilakukan penyesuaian lagi berdasarkan pada wilayah tanaman. Dalam periode tersebut, nama perusahaan telah diubah menjadi perseroan terbatas perkebunan, dan ini dimulai dari Provinsi Aceh hingga ke wilayah Sulawesi Selatan.
Pengawasan langsung terhadap perusahaan perkebunan milik Inggris dimulai pada tahun 1964. Ini berhubungan dengan pembentukan Negara Malaysia dan Singapura. Demikian juga berlaku kepada sejumlah perusahaan/pabrik karet yang dimiliki oleh rakyat Malaysia di Singapura. Untuk aktivitas tersebut telah dibentuk sebuah perusahaan yang namanya PT. Dwikora yang pada akhir tahun 1960-an telah berakhir aktivitasnya dan dikembalikan kepada pemiliknya.
Masalah yang penting di sini adalah mengenai penggunaan perundangan nomor 5, tahun 1960 (Perundangan Pokok Agraria). Perundangan ini berakhir dan berlakunya suatu ketentuan berhubungan dengan Agrarischewet tahun 1970.
Pada tahun 1963-1964, untuk pertama kali dilakukan perubahan organisasi perkebunan berdasarkan komoditi dan tiap-tiap organisasi diharuskan untuk memiliki suatu Badan Pimpinan Umum (BPU). Pada akhirnya, ini dikenal sebagai BPU karet.
Di ujung tahun 1960-an telah dilakukan penyesuaian lagi berdasarkan pada wilayah tanaman. Dalam periode tersebut, nama perusahaan telah diubah menjadi perseroan terbatas perkebunan, dan ini dimulai dari Provinsi Aceh hingga ke wilayah Sulawesi Selatan.
Pengawasan langsung terhadap perusahaan perkebunan milik Inggris dimulai pada tahun 1964. Ini berhubungan dengan pembentukan Negara Malaysia dan Singapura. Demikian juga berlaku kepada sejumlah perusahaan/pabrik karet yang dimiliki oleh rakyat Malaysia di Singapura. Untuk aktivitas tersebut telah dibentuk sebuah perusahaan yang namanya PT. Dwikora yang pada akhir tahun 1960-an telah berakhir aktivitasnya dan dikembalikan kepada pemiliknya.
Masalah yang penting di sini adalah mengenai penggunaan perundangan nomor 5, tahun 1960 (Perundangan Pokok Agraria). Perundangan ini berakhir dan berlakunya suatu ketentuan berhubungan dengan Agrarischewet tahun 1970.
BACA JUGA:
Asas dan hak-hak kuasa negara masih sedang dipertahankan. Beigitupun juga hak rakyat masih dipertahankan selagi tidak bertentangan dengan perundangan. Dalam ketentuan ini, penguasa tanah ditentukan seperti berikut:
- Hak pengurusan tanah untuk perkebunan adalah Hak Guna Usaha (HGU) dalam jangka waktu selama 25 tahun. Periode waktu usaha ini diperpanjang lagi sampai 35 tahun.
- Hak konsesi berakhir dan diganti dengan HGU.
- Setiap penguasa hak guna usaha di atas kawasan seluas 25 Ha berkewajiban mendirikan sebuah perusahaan yang berlokasi di Indonesia. Ini hanya diperuntukkan bagi luas kawasannya yang sekurang-kurangnya 25 Ha (Syechalad, 2009: 33).
- Hak guna usaha diberikan kepada seseorang dengan hak minimal 5 Ha hingga 25 Ha luas kawasannya.
Jumlah pengusaha perkebunan besar swasta telah bertambah pada tahun 1950, yaitu sebanyak 1.435 buah. Setelahnya, jumlah perusahaan swasta secara terus-menerus bertambah di kawasan tersebut.