Tantangan Pribadi Bagi Manajer Global
Situs Ekonomi - Manajer akan sangat berhasil dalam penugasan luar negeri jika mereka bersikap fleksibel secara budaya dan dengan mudah beradaptasi terhadap situasi dan cara mengerjakan segala sesuatu yang baru. Tendensi untuk menjadi etnosentris (yaitu meyakini bahwa nilai-nilai budaya dan cara mengerjakan segala sesuatu dari negara Anda sendiri adalah yang paling unggul) adalah kondisi manusiawi (Daft, 2006: 181).
Manajer dapat belajar untuk menghentikan prasangka ini dan menghargai budaya lain. Seperti yang dikatakan oleh seorang eksekutif kebangsaan Swedia dari sebuah perusahaan multinasional yang besar, "Kami orang Swedia sangat bersikap seperti cara Swedia; kami lupa bahwa 99 persen dari dunia ini bukanlah Swedia." Manajer yang bekerja di luar negeri mungkin tidak akan mampu memahami budaya lokal seperti orang asli; kuncinya adalah menjadi sensitif terhadap perbedaan budaya dan memahami bahwa cara berpikir dan melakukan hal yang lain juga sah.
Kebanyakan manajer dalam penugasan luar negeri menghadapi periode rindu dengan tempat asal, rasa sendirian, dan culture shock karena tiba-tiba berada dalam sebuah budaya dengan perbedaan total dalam bahasa, makanan, nilai, keyakinan, dan cara melakukan pekerjaan. Kejutan budaya (culture shock) mengacu pada rasa frustrasi dan kecemasan yang timbul karena terus-menerus menghadapi kondisi yang aneh dan tidak dikenal sebelumnya mengenai apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya. Dalam arti sederhana, peristiwa harian pun dapat menjadi sumber stres.
Menyiapakan para manajer untuk bekerja dalam budaya asing sangatlah esensial. Beberapa perusahaan mencoba memberikan kesempatan kepada para manajer untuk menghadapi budaya asing pada tahap awal karier mereka.
BACA JUGA:
American Express Company's Travel-Related Services memberikan pekerjaan magang selama musim panas kepada mahasiswa sekolah bisnis di Amerika Serikat (AS), di mana mereka bekerja di luar AS hingga dua bulan lebih. Colgate-Palmolives memilih 15 orang lulusan terbaru setiap tahunnya dan kemudian memberikan waktu 24 bulan untuk pelatihan, sebelum mendapatkan berbagai penugasan di luar negeri (Lublin, 1992).
Manajer dapat belajar untuk menghentikan prasangka ini dan menghargai budaya lain. Seperti yang dikatakan oleh seorang eksekutif kebangsaan Swedia dari sebuah perusahaan multinasional yang besar, "Kami orang Swedia sangat bersikap seperti cara Swedia; kami lupa bahwa 99 persen dari dunia ini bukanlah Swedia." Manajer yang bekerja di luar negeri mungkin tidak akan mampu memahami budaya lokal seperti orang asli; kuncinya adalah menjadi sensitif terhadap perbedaan budaya dan memahami bahwa cara berpikir dan melakukan hal yang lain juga sah.
Kebanyakan manajer dalam penugasan luar negeri menghadapi periode rindu dengan tempat asal, rasa sendirian, dan culture shock karena tiba-tiba berada dalam sebuah budaya dengan perbedaan total dalam bahasa, makanan, nilai, keyakinan, dan cara melakukan pekerjaan. Kejutan budaya (culture shock) mengacu pada rasa frustrasi dan kecemasan yang timbul karena terus-menerus menghadapi kondisi yang aneh dan tidak dikenal sebelumnya mengenai apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya. Dalam arti sederhana, peristiwa harian pun dapat menjadi sumber stres.
Menyiapakan para manajer untuk bekerja dalam budaya asing sangatlah esensial. Beberapa perusahaan mencoba memberikan kesempatan kepada para manajer untuk menghadapi budaya asing pada tahap awal karier mereka.
BACA JUGA:
- Kerangka Kerja Keputusan Personal
- Pengambilan Keputusan Berdasarkan Model Politis
- Aktivitas Manajemen: Keragaman, Fragmentasi dan Kecepatan
American Express Company's Travel-Related Services memberikan pekerjaan magang selama musim panas kepada mahasiswa sekolah bisnis di Amerika Serikat (AS), di mana mereka bekerja di luar AS hingga dua bulan lebih. Colgate-Palmolives memilih 15 orang lulusan terbaru setiap tahunnya dan kemudian memberikan waktu 24 bulan untuk pelatihan, sebelum mendapatkan berbagai penugasan di luar negeri (Lublin, 1992).