Non Ribawi: Pendapatan yang Setara dengan Hasil Kerja
Situsekonomi.com - Secara umum, riba dimengerti sebagai tambahan yang diberikan atas pinjaman uang, atau disebut bunga. Dalam arti lain, riba dapat timbul karena pertukaran barang atau barter yang tidak sepadan, baik dalam takaran, timbangan, ataupun kualitas barang.
Dalam pertukaran barang yang sejenis, seperti emas dengan emas, perbedaan kadarnya tidak bisa diukur dengan akurat, atau tidak serta merta dapat diketahui; di sini, tambahan tidak diperbolehkan. Tetapi, tambahan pada pertukaran barang dengan jenis yang berbeda, seperti kurma dengan gandum, diizinkan; tambahan di sini berfungsi sebagai penyeimbang dari perbedaan nilai dari kedua barang.
Dari pertukaran seperti ini, dapat disimpulkan bahwa setiap pihak dalam transaksi itu jelas mengetahui dan menyadari perbedaan barang yang ditukarkan, sekaligus dapat mengukur tambahan yang seimbang. Pada dasarnya, pertukaran atau jual beli dengan counter value yang tidak simbang adalah juga riba.
Hadis Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Baihaki menyatakan bahwa ketidakjujuran atau penipuan penjual terhadap pembeli adalah termasuk perbuatan ribawi. Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam juga bersabda bahwa memakan harta orang lain tanpa jerih payah dan risiko merupakan tindakan ribawi, bahkan disertakan dengan penyakit masyarakat seperti menjual kehormatan.
Al-Qur'an menyebutkan bahwa memakan harta benda orang dengan jalan yang batil adalah riba (QS 4: 161). Menurut Zaid (2010), makna qiyas terhadap kata riba itu adalah memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar.
Salah satu akibat dari riba adalah mendorong orang untuk memperoleh hasil yang instan tanpa bekerja, sehingga menjadi malas atau tidak produktif. Itulah Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba walaupun pada dasarnya perdagangan dan riba serupa, dalam hal memperoleh keuntungan bagi yang pertama dan tambahan bagi yang kedua.
Namun, implikasi perdagangan jauh lebih positif dan luas. Perdagangan adalah hilir dan hulu dari kegiatan produksi; apabila meningkat, akan mendorong produksi barang dan jasa yang lebih banyak. Produksi yang bertambah membuka lapangan kerja, dan menciptakan kesejahteraan umat.
Keuntungan adalah panen dari kerja dan usaha di ladang produksi dan perdagangan, dan merupakan manifestasi kerja, usaha, dan risiko, sehingga tidak dapat diperoleh secara instan. Oleh karena itu, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa kekayaan suatu negara terletak pada berapa banyak barang dan jasa yang dihasilkannya, bukan pada jumlah uang yang dimilikinya.
BACA JUGA:
- Pendapatan Diterima di Muka
- Beberapa Masalah Pokok dalam Perekonomian
- Aplikasi pada Analisis Statis Komparatif: Model Pendapatan Nasional
Jadi, peminjaman uang dengan tambahan, pertukaran yang tidak seimbang dalam takaran dan timbangan serta kadar barang, atau transaksi pertukaran dengan counter value yang tidak sepadan, atau tambahan yang diperoleh tanpa kerja, usaha, atau risiko, tidak produktif, atau memakan harta orang dengan cara yang bathil, merupakan transaksi ribawi. Semua hal ini tidak berujung pada peningkatan produksi barang dan jasa, yang dapat memberikan lapangan kerja produktif bagi umat; serta tidak mendorong terciptanya nilai-nilai kebajikan, seperti keadilan dan kejujuran. Pembiayaan Islam tidak terlepas dari tema kerja, produksi barang dan jasa, mengembangkan usaha, tidak bersifat ribawi, dan untuk kemaslahatan bersama.