Sumber Pembiayaan dalam Islam
Situsekonomi.com - Pembiayaan syariah atau Islam merupakan sub sistem dari ekonomi Islam, yang bersumber dari Al-Qur'an dan Hadis Nabi besar Muhammad Shalallahu 'alaihi wasallam. Al-Qur'an merupakan wahyu dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang diperjelas melalui sunnah termasuk Hadis Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam.
Dengan demikian, secara epistemologi, ekonomi dan pembiayaan Islam berasal dari kedua sumber utama tersebut. Al-Qur'an berisikan ketentuan dan petunjuk bagi manusia dalam hubungan vertikal dengan Allah atau beribadah, dan juga mengatur hubungan yang bersifat horizontal antar sesama manusia, atau bermuamalah (Herijanto, 2013). Oleh karena itu, pembiayaan Islam bersandar pada prinsip tauhid, atau Keesaan Tuhan.
Karena bersumber dari wahyu Allah Subhanahu Wa Ta'ala tauhid atau Keesaan Tuhan menjadi prinsip inti, tidak saja bagi ekonomi dan pembiayaan Islam, tetapi mencakup keseluruhan bidang kehidupan manusia di dunia, yang sekaligus berfungsi sebagai fondasi keimanan Islam. Sebagai pencipta langit dan bumi serta segala isinya, Allah Subhanahu Wa Ta'ala merupakan awal dari segalanya.
Tuhan Yang Maha Pencipta, yang bersifat Esa dan unik, mendesain dan menciptakan alam semesta secara sungguh-sungguh, dan tidak terjadi secara kebetulan atau aksiden. Tujuan penciptaannya adalah untuk memberikan arti dan signifikasi bagi eksistensi jagat raya, dan manusia merupakan salah satu bagiannya (Chapra, 2000).
Tauhid adalah suatu prinsip lengkap yang menembus seluruh dimensi dan mengatur seluruh aktivitas manusia, dalam bentuk kesatuan yang mengitari prinsip ini, seperti kesatuan alam raya, agama, ilmu, kebenaran dan seterusnya; dan mengarah kepada hakikat tauhid. Tujuan hidup pada dasarnya adalah untuk mencapai perjumpaan kembali dengan Tuhan, dan memiliki dua bagian.
Bagian pertama adalah di antara awal dan akhir itu terdapat dunia di mana manusia hidup; dan kehidupan ini seyogianya berjalan dalam garis yang lurus dan lebar atas dasar petunjuk yang diberikan Tuhan melalui ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadis Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam. Berjalan dalam kehidupan dengan menerapkan petunjuk-petunjuk Allah Subhanahu Wa Ta'ala dapat diartikan sebagai perjumpaan dengan-Nya.
Selanjutnya, kepatuhan untuk mengikuti petunjuk atau hukum yang ada dalam Al-Qur'an, dan Hadis Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam juga akan dibawa untuk diperhitungkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa segala sesuatu berasal dari Yang Satu, yang semuanya akan kembali atau dihisab oleh Yang Satu, yaitu Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Dengan perubahan kemasyarakatan yang berkembang, manusia perlu dan diizinkan untuk mengembangkan ketentuan dan petunjuk tersebut sesuai dengan apa yang diperlukannya dalam rangka menjalankan kehidupan di dunia, asalkan tidak bertentangan dengan tujuan hukum Islam. Islam bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan atau kemaslahatan bagi setiap individu dan masyarakat, disertai dengan nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan kebenaran.
Maqashid al-syariah. Jadi, dalam mengembangkan ketentuan yang ada dalam Al-Qur'an dalam rangka menentukan hukum sehubungan dengan berkembangnya masyarakat dapat dianalisis melalui maqashid al-syariah, yang berarti bahwa tujuan hukum Islam hanya satu, yaitu untuk mencapai kemaslahatan manusia. Kemaslahatan dapat diartikan sebagai kesejahteraan, kebaikan, dan kebajikan (Nur, 161-162: 2010).
Dalam konteks ilmu pengetahuan, ketentuan dan petunjuk yang ada dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rasul merupakan ketentuan etika dan moral. Karena kegiatan ekonomi dan pembiayaan oleh bank Islam bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah Rasul, maka seluruh kegiatan dalam kedua bidang tersebut tidak terlepas dari unsur etika dan moralitas.
Ekonomi dan pembiayaan Islam tidak bersifat netral terhadap nilai-nilai, tetapi penuh dengan nilai-nilai atau value laden, karena tujuannya adalah untuk meningkatkan nilai-nilai Islam, seperti persaudaraan, kebenaran dan keadilan. Jika tujuan ini dipenuhi, maka tujuan akhir untuk mematuhi, menyembah, atau tunduk pada Allah Subhanahu Wa Ta'ala juga dapat dipenuhi. Namun, ini tidak berarti bahwa dari segi materi, hasil kegiatan dari bidang ekonomi dan pembiayaan itu diperuntukkan bagi Tuhan secara an sich, karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala tidak memerlukannya.
Sebagai Maha Pencipta, Zat Allah Subhanahu Wa Ta'ala tidak sama dengan manusia baik secara lahiriah, batiniah, atau dari segala dimensi. Hasil kegiatan yang bersandar pada ketentuan Tuhan itu pada dasarnya dikembalikan kepada manusia itu sendiri, yaitu untuk kepentingan dan menciptakan kemaslahatan manusia, atau kesejahteraan bagi sesama di dunia, secara adil dan benar; serta sekaligus merupakan kebajikan dari kehidupan di dunia sehingga bernilai akhirat atau ibadah.
Sejalan dengan pengertian ini, pembiayaan Islam pada dasarnya merupakan perlengkapan dari ekonomi Islam yang bertujuan untuk meningkatkan kemaslahatan umat atau masyarakat, dengan berbagai risiko yang dihadapai. Nilai ibadah yang lain adalah apakah manusia telah lulus ujian di dunia dalam hal kepatuhan dan penyerahan diri terhadap Perintah dan Kekuasaan-Nya. Ini artinya kebajikan yang bernilai akhirat itu, disertai dengan kepatuhan dan penyerahan diri, merupakan faktor positif yang berpengaruh untuk mencapai kebahagiaan di akhirat.
Pembiayaan dalam bank syariah setara dengan pemberian kredit oleh bank konvensional. Berbeda dengan pembiayaan Islam yang diberikan oleh bank syariah, perkreditan dalam bank konvensional merupakan hasil pemikiran manusia, yang berkembang sejak Abad Pertengahan.
Perubahan yang menonjol pada masa itu adalah diperbolehkannya pengenaan bunga atau riba, yang sebelumnya paling tidak dibatasi, oleh dua pendeta yang bernama John Calvin (1509-1546) dan Martin Luther (1483-1546). Pengenaan bunga menunjukkan, atau merupakan manifestasi, bahwa kegiatan pinjam meminjam itu merupakan kegiatan komersial, sehingga dapat diartikan bahwa bunga adalah harga atas pinjaman yang dilakukan.