Ushul Fikih Muamalat
Situsekonomi.com - Dalam kajian dan penelitian bidang muamalat maupun bidang syariah lainnya, merujuk kepada Al-Qur'an dan Sunnah menjadi keharusan yang bersifat mutlak. Al-Qur'an dan Sunnah telah disepakati menjadi bahan primer dalam penelitian muamalat.
Bagi peneliti wajib membaca dengan teliti teks-teks Al-Qur'an dan Sunnah. Peneliti membutuhkan beberapa sarana (alat) di antaranya adalah penguasaan bahasa Arab, karya-karya para ahli tafsir dan pensyarah Hadis, serta fuqaha (ahli fikih) dalam proses membaca rujukan utama fikih muamalat itu.
Ketika membaca karya para pendahulu hendaknya bersikap hormat kepada para ilmuwan Muslim itu. Meskipun demikian, bukan berarti peneliti memosisikan diri sebagai tape recorder, hanya sebagai perekam. Peneliti patut mendayagunakan akal yang telah dianugerahkan oleh Allah, dengan syarat ia memiliki piranti yang diperlukan, seperti kemampuan dalam menetapkan batasan (tahshir), klasifikasi (tashnif), dan analisis (tahlil).
1). Al-Qur'an sebagai sumber utama dan doktrin teologis ajaran Islam termasuk di dalamnya doktrin ekonomi Islam dan praktik muamalat. Sebagai sumber yang utama dan pertama, Al-Qur'an harus dinomorsatukan oleh umat Islam dalam menemukan dan menarik doktrin atau hukum. Ayat-ayat Al-Qur'an didahulukan dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang muncul ke permukaan, selama jawaban tersebut dapat ditemukan dalam nash-nash Al-Qur'an.
2). Sunnah Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam sebagai sumber kedua. Sunnah merupakan landasan empiris bagi konsep-konsep Islam, mengingat sumber hukum kedua dalam Islam ini merupakan aplikasi dan praktik dari ajaran-ajaran normatif Al-Qur'an, baik dalam wujud perkataan, perbuatan, maupun ketetapan Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wasallam. Penggunaan Sunnah Nabi sebagai sumber kedua ini didasarkan pada kedudukannya terhadap Al-Qur'an yang berfungsi sebagai berikut (Khatib, 1989):
- Sunnah memperkuat apa yang telah ditetapkan oleh Al-Qur'an.
- Sunnah berfungsi sebagai penjelas Al-Qur'an dengan cara merinci ayat-ayat Al-Qur'an yang global; membatasi ayat-ayat yang mutlak; mengkhususkan ayat-ayat yang bersifat umum dalam aplikasinya.
- Sunnah berfungsi menetapkan hukum yang belum diatur di dalam Al-Qur'an.
3). Pendapat-pendapat ulama Islam yang telah memberikan pendapat-pendapat legal formal ihwal doktrin dan hukum muamalat, maupun berupa pandangan-pandangan hukum yang bersifat teknis yang berhubungan dengan ranah kajian muamalat. Terhadap sumber-sumber ini langkah-langkah prosedural yang akan dilalui oleh peneliti bidang muamalat adalah sebagai berikut:
- Pertama, mengumpulkan teks-teks berupa ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadis-Hadis Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam guna menarik sejumlah aturan dan konsepsi Islam sebagai langkah awal merumuskan teori-teori doktrinal ekonomi Islam yang bersifat umum (al nadhariyaat al mazhabiyyah al 'ammah) atau menarik jawaban atas persoalan dan masalah yang dihadapi.
- Kedua, mengumpulkan teks-teks Al-Qur'an dan Hadis yang spesifik, terkait dengan persoalan dan kasus yang dikaji.
- Ketiga, proses mengumpulkan teks-teks ini dilanjutkan dengan upaya pemahaman terhadapnya serta upaya penyingkapan kandungannya dengan bantuan karya para ulama dan fuqaha sebagai hasil kajian dan penelitian terdahulu.
Dalam proses memahami teks-teks ini, demi terjaganya objektivitas dan orisinalitas ijtihad, Shadr (1991) mengingatkan beberapa hal yang harus dihindari yang dianggap sebagai elemen-elemen subjektif (al 'anashir al dzatiyah) dalam proses ijtihad dan delusi realitas aktual (khida' al waqi' al tathbiqi). Elemen-elemen subjektif yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Tabriru Al Waqi' (Justifikasi)
Tabriru al waqi', yaitu melakukan pembenaran atas realitas yang keliru. Peneliti menafsirkan suatu teks untuk membenarkan cacat yang ditemui dalam kehidupan. Ia memandang cacat itu sebagai keniscayaan yang tak terelakkan.
Kemudian ia menyesuaikan teks (nash) tersebut dengan realitas, menakwilkan nash supaya tunduk padanya, bukan mengubah realitas supaya tunduk pada nash. Sebagai contoh praktik justifikasi realitas yang keliru, bila peneliti menafsirkan dasar-dasar pengharaman riba kemudian mengambil kesimpulan -- yang bersesuaian dengan realitas -- bahwa Islam membolehkan riba selama bukan bunga-berbunga (compound interest).
2. Damju Al Nash Dlimna Itharin Khaashin (Interpolasi)
Damju al nash dlimna itharin khaashin, yaitu memasukkan nash (teks) ke sebuah kerangka tertentu. Peneliti telah memiliki kerangka konseptual tertentu yang non Islam; lalu ia menggunakan kerangka berpikir itu untuk memahami nash.
Bila nash itu tidak cocok, ia akan mencari nushush (teks-teks) yang lain atau menolak nash itu dengan mengatakan tidak sesuai dengan akal. Misalnya, Shadr mengutip pendapat seorang peneliti yang menolak nash yang berbunyi: lahan yang tidak diolah oleh pemiliknya diambil oleh waliyyul amri dan dimanfaatkan untuk kepentingan umat. Si peneliti sudah memiliki kerangka konseptual yang mengagungkan hak milik individu, dan menundukkan nash untuk dikendalikan oleh konsepsi hak milik tersebut (ADESY, 2016: 156).
3. Tajriidu Al Dalil Min Dhurufihi Wa Syuruthihi (Manipulasi)
Tajriidu al dalil min dhurufihi wa syuruthihi, yaitu melepaskan dalil syar'i dari situasi dan kondisinya. Kekeliruan ini sering kali terjadi dalam memahami sunnah taqririyah, sunnah Nabi yang dinyatakan dengan diam, tidak memberikan tanggapan positif atau negatif atas suatu perilaku atau sikap yang terjadi masa tasyri' (legislasi Islam). Melepaskan dalil syar'i dari situasi dan kondisinya bisa terjadi melalui salah satu dari dua bentuk berikut:
- Melepaskan perilaku tertentu dari situasi dan kondisinya dan menganggapnya sebagai perilaku yang terjadi pada masa tasyri'. Seorang peneliti hidup dalam suatu realitas yang di dalamnya berkembang suatu perilaku tertentu. Karena demikian mengakar, terlupakanlah faktor-faktor yang memunculkannya sehingga ia merasa bahwa perilaku itu telah berlangsung sejak zaman Nabi, padahal kenyataannya lahir dari realitas masyarakatnya.
- Melepaskan suatu perilaku yang terjadi pada masa tasyri' dari situasi dan kondisinya dan melakukan generalisasi dengan menerapkannya pada perilaku kontemporer yang serupa, meskipun dijumpai perbedaan karakteristik.
4. Ittikhadzu Mauqifin Mu 'Ayyanin Bi Shuratin Musabbaqatin Tujaha Al Nash (Subjektifikasi)
Ittikhadzu mauqifin mu 'ayyanin bi shuratin musabbaqatin tujuha al nash, yaitu mengambil sikap tertentu terhadap nash. Seorang peneliti memiliki kecenderungan (disposisi) sendiri berkenaan dengan kasus yang dikaji.
Disposisi amat berpengaruh dalam proses memahami teks, yang sangat dimungkinkan terjadi kekeliruan dalam istinbath (menyimpulkan hukum). Apalagi kalau kesimpulan itu ditarik secara prematur tanpa melakukan verifikasi. Misalnya, ada dua peneliti yang mengkaji teks-teks hukum; yang satu cenderung pada sisi sosialnya dan apa pun yang berkaitan dengan aturan-aturan dan konsep-konsep Islam tentang negara, sementara yang lain cenderung pada aturan-aturan yang berkaitan dengan praktik partikular individual.
Meskipun perlu berhati-hati terhadap intervensi unsur-unsur subjektif dalam proses ijtihad, namun subjektivitas itu menjadi suatu hal yang sulit dihindari. Oleh karena itu, subjektivitas masih ditolelir selama formulasi gagasan umum dan hukum itu masih mewakili ijtihad yang sah.
Dimungkinkan bagi seorang peneliti memilih bentuk yang mengandung unsur-unsur yang paling efektif dan paling kuat dalam mengatasi masalah-masalah kehidupan (sosial-ekonomi, muamalat) dan dalam mewujudkan tujuan-tujuan Islam yang tertinggi. Inilah wilayah pilihan pribadi (ikhtiyar dzati) yang memberi para peneliti kebebasan memilih. Tapi subjektivitas pilihan ini bukanlah kebebasan mutlak, sebab dibatasi oleh berbagai ijtihad yang lain (Shadr, 1991).
BACA JUGA:
- Tradisi Kaum Salaf: Fikih Muamalat Menjadi Syarat bagi Pelaku Bisnis
- Pengembangan Ekonomi dan Bisnis Islam
- Sumber Pembiayaan dalam Islam
Keempat, mencari bantuan dari aturan-aturan (hukum) yang merupakan hasil ijtihad dari ulama. Temuan-temuan ulama atau peneliti terdahulu merupakan gambaran realitas legislasi Islam yang paling akurat dan paling aktual, apalagi temuan-temuan ini mendapatkan pembenaran syara' karena merupakan hasil ijtihad islami yang sah dalam koridor Al-Qur'an dan Sunnah.