Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

5 Nilai Universal Ekonomi Islami

5 Nilai Universal Ekonomi Islami

Bangunan ekonomi islami didasarkan atas lima nilai universal, yakni tauhid (keimanan), 'adl (keadilan), nubuwwah (kenabian), khilafah (pemerintahan), dan ma'ad (hasil). Kelima nilai ini menjadi dasar inspirasi untuk menyusun proposisi-proposisi dan teori-teori ekonomi islami (Karim, 2018: 34).

1. Tauhid (Keesaan Tuhan)

Tauhid merupakan fondasi ajaran Islam. Dengan tauhid, manusia menyaksikan bahwa "tiada sesuatu pun yang layak disembah selain Allah" dan "tidak ada pemilik langit, bumi, dan isinya selain daripada Allah" karena Allah adalah pencipta alam semesta dan isinya dan sekaligus pemiliknya, termasuk pemilik manusia dan seluruh sumber daya yang ada.

Oleh karena itu, Allah adalah pemilik hakiki. Manusia hanya diberi amanah untuk "memiliki" sementara waktu sebagai ujian bagi mereka. Dalam Islam, segala sesuatu yang ada tidak diciptakan dengan sia-sia, tetapi memiliki tujuan (QS 23:115).

Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya (QS 51:56). Maka dari itu, segala aktivitas manusia dalam hubungannya dengan alam (sumber daya) dan manusia (mu'amalah) dibingkai dengan kerangka hubungan dengan Allah karena kepada-Nya kita akan mempertanggungjawabkan segala perbuatan kita, termasuk aktivitas ekonomi dan bisnis.

2. 'Adl (Keadilan)

Allah adalah pencipta segala sesuatu, dan salah satu sifat-Nya adalah adil. Dia tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap makhluk-Nya secara zalim. Manusia sebagai khalifah di muka bumi harus memelihara hukum Allah di bumi, dan menjamin bahwa pemakaian segala sumber daya diarahkan untuk kesejahteraan manusia supaya semua mendapat manfaat darinya secara adil dan baik.

Dalam banyak ayat, Allah memerintahkan manusia untuk berbuat adil. Dalam Islam, adil didefinisikan sebagai "tidak menzalimi dan tidak dizalimi". Implikasi ekonomi dari nilai ini adalah bahwa pelaku ekonomi tidak dibolehkan untuk mengejar keuntungan pribadi bila hal itu merugikan orang lain atau merusak alam.

Tanpa keadilan, manusia akan terkelompok-kelompok dalam berbagai golongan. Golongan yang satu akan menzalimi golongan yang lain, sehingga terjadi eksploitasi manusia atas manusia (QS 25:20). Masing-masing berusaha mendapatkan hasil yang lebih besar daripada usaha yang dikeluarkannya karena kerakusannya (QS 89:20).

3. Nubuwwah (Kenabian)

Karena rahman, rahim, dan kebijaksanaan Allah, manusia tidak dibiarkan begitu saja di dunia tanpa mendapat bimbingan. Oleh sebab itu, diutuslah para nabi dan rasul untuk menyampaikan petunjuk dari Allah kepada manusia tentang bagaimana hidup yang baik dan benar di dunia, dan mengajarkan jalan untuk kembali (taubah) ke asal muasal.

Fungsi rasul adalah untuk menjadi model terbaik yang harus diteladani manusia agar mendapat keselamatan di dunia dan akhirat. Untuk umat Muslim, Allah telah mengirimkan "manusia model" yang terakhir dan sempurna untuk diteladani sampai akhir zaman, yaitu Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam. Sifat-sifat utama sang model yang harus diteladani oleh manusia pada umumnya dan pelaku ekonomi dan bisnis pada khususnya adalah sebagai berikut:

- Siddiq (Benar, Jujur)

Sifat siddiq harus menjadi visi hidup setiap Muslim karena hidup kita berasal dari Yang Maha Benar, sehingga kehidupan di dunia pun harus dijalani dengan benar supaya kita dapat kembali pada pencipta kita Yang Maha Benar. Dengan demikian, tujuan hidup Muslim sudah terumus dengan baik. Dari konsep siddiq ini, muncullah konsep turunan khas ekonomi dan bisnis, yakni efektivitas (mencapai tujuan yang tepat atau benar) dan efisiensi (melakukan kegiatan dengan benar, yakni menggunakan teknik dan metode yang tidak menyebabkan kemubaziran karena kalau mubazir berarti tidak benar).

- Amanah (Tanggung Jawab, Kepercayaan, Kredibilitas)

Amanah menjadi misi hidup setiap Muslim karena Sang Benar hanya dapat kita jumpai dalam keadaan ridha dan diridhai bila kita menepati amanat yang telah dipikulkan kepada kita (QS 89:28). Sifat ini akan membentuk kredibilitas yang tinggi dan sikap penuh tanggung jawab pada setiap individu Muslim.

Kumpulan individu dengan kredibilitas dan tanggung jawab yang tinggi akan melahirkan masyarakat yang kuat karena dilandasi oleh saling percaya antaranggotanya. Sifat amanah memainkan peranan yang fundamental dalam ekonomi dan bisnis karena tanpa kredibilitas dan tanggung jawab kehidupan ekonomi dan bisnis akan hancur.

- Fathanah (Kecerdikan, Kebijaksanaan, Intelektualita)

Sifat ini dapat dipandang sebagai strategi hidup setiap Muslim karena untuk mencapai Sang Benar kita harus mengoptimalkan segala potensi yang telah diberikan oleh-Nya. Potensi paling berharga dan termahal yang hanya diberikan pada manusia adalah akal (intelektualita).

Oleh karena itu, Allah dalam Al-Qur'an selalu menyindir orang-orang yang menolak seruan untuk kembali (taubat) kepada-Nya dengan kalimat "Apakah kamu tidak berfikir? Apakah kamu tidak menggunakan akalmu?" Dan orang yang paling bertakwa justru adalah orang yang paling mengoptimalkan potensi fikirannya. Bahkan, peringatan yang paling keras adalah "dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya (QS 10:100)."

Implikasi ekonomi dan bisnis dari sifat ini adalah bahwa segala aktivitas harus dilakukan dengan ilmu, kecerdikan, dan pengoptimalan semua potensi akal yang ada untuk mencapai tujuan. Jujur, benar, kredibel, dan bertanggung jawab saja tidak cukup dalam berekonomi dan berbisnis.

Para pelaku harus pintar dan cerdik supaya usahanya efektif dan efisien agar tidak menjadi korban penipuan. Bandingkan ini dengan konsep manajemen work hard vs work smart. Dalam ekonomi Islam, tidak ada dikotomi ini karena konsepnya work hard and smart.

- Tabligh (Komunikasi, Keterbukaan, Pemasaran)

Sifat ini merupakan taktik hidup Muslim karena setiap Muslim mengemban tanggung jawab da'wah, yakni menyeru, mengajak, dan memberitahu. Sifat ini bila sudah mendarah daging pada setiap Muslim, apalagi yang bergerak dalam bidang ekonomi dan bisnis, akan menjadikan setiap pelaku ekonomi dan bisnis sebagai pemasar-pemasar yang tangguh dan lihai karena sifat tabligh menurunkan prinsip-prinsip ilmu komunikasi (personal maupun massal), pemasaran, penjualan, periklanan, pembentukan opini massa, open management, iklim keterbukaan, dan lain-lain.

Dengan demikian, kegiatan ekonomi dan bisnis harus mengacu pada prinsip-prinsip yang telah diajarkan oleh nabi dan rasul. Nabi misalnya mengajarkan bahwa "Yang terbaik di antaramu adalah yang paling bermanfaat bagi manusia."

Dengan kata lain, bila kita ingin "menyenangkan Allah," maka kita harus menyenangkan hati manusia. Prinsip ini akan melahirkan sikap profesional, prestatif, penuh perhatian terhadap pemecahan masalah-masalah manusia, dan terus-menerus mengejar hal yang terbaik sampai menuju kesempurnaan karena hal yang demikian dianggap sebagai cerminan dari penghambaan (ibadah) manusia terhadap penciptanya (HR Ibn Asaakir).

Bila ekonom Muslim akan menyusun teori dan proposisinya, maka hal yang harus menjadi pegangan adalah bahwa semua yang datang dari Allah dan Rasul-Nya pasti benar. Bila ada hal-hal yang tidak dapat dipahami oleh manusia dengan akalnya, maka menjadi tugas manusia untuk terus berusaha menemukan kebenaran tersebut dengan cara apa pun.

4. Khilafah (Pemerintahan)

Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman bahwa manusia diciptakan utuk menjadi khalifah di bumi, artinya untuk menjadi pemimpin dan pemakmur bumi (QS 2:30). Oleh karena itu, pada dasarnya setiap manusia adalah pemimpin.

Nabi bersabda, "Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya." Ini berlaku bagi semua manusia, baik sebagai individu, kepala keluarga, pemimpin masyarakat, atau kepala negara.

Nilai ini mendasari prinsip kehidupan kolektif manusia dalam Islam (siapa memimpin siapa). Fungsi utamanya adalah agar menjaga keteraturan interaksi (mu'amalah) antarkelompok, termasuk dalam bidang ekonomi, supaya kekacauan dan keributan dapat dihilangkan atau dikurangi. Dalam Al-Qur'an dikatakan bahwa (yaitu) orang-orang yang Kami beri kedudukan di muka bumi, niscaya mereka... menyuruh berbuat baik dan mencegah dari perbuatan jahat (QS 22:41).

Dalam hadis lainnya, Nabi bersabda: "Berakhlaklah kalian seperti akhlak Allah!" Akhlak Allah diajarkan kepada manusia lewat al-asma al-husna-Nya (nama-nama-Nya yang terbaik). Jadi, misalnya jika Allah bersifat al-Waliy, maka implikasi ekonomi dari berakhlak seperti waliy adalah mengelola dan memilihara sumber daya dengan baik supaya bermanfaat bagi generasi kini sampai generasi-generasi selanjutnya.

Implikasi ekonomi dari berakhlak seperti al-Razzaaq adalah menjamin kecukupan hidup (kebutuhan dasar) bagi semua manusia. Implikasi dari al-Fattaah yakni membuka kesempatan berkarya, menciptakan iklim bisnis yang sehat, membuka akses manusia terhadap ilmu untuk meningkatkan kualitas manusia.

Begitu pula dengan implikasi dari al-Wahhaab, yaitu membangun sistem jaminan sosial yang tangguh, pelayanan pendidikan dan kesehatan yang memadai bagi masyarakat. Implikasi sifat al-Malik al-Mulk: menginvestasikan sumber daya secara bijak supaya membawa manfaat sebesar-besarnya. Ini semua merupakan tugas dan tanggung jawab yang harus dipikul oleh negara/pemerintah.

Dalam Islam, pemerintah memainkan peranan yang kecil, tetapi sangat penting dalam perekonomian. Peran utamanya adalah untuk menjamin perekonomian agar berjalan sesuai dengan syariah, dan untuk memastikan supaya tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak manusia.

Semua ini dalam kerangka mencapai maqashid al-syari'ah (tujuan-tujuan syariah) yang menurut Imam Al-Ghazali adalah untuk memajukan kesejahteraan manusia. Hal ini dicapai dengan melindungi keimanan, jiwa, akal, kehormatan, dan kekayaan manusia.

5. Ma'ad (Hasil)

Walaupun sering kali diterjemahkan sebagai "kebangkitan," tetapi secara harfiah ma'ad berarti "kembali" karena kita semua akan kembali kepada Allah. Hidup manusia bukan hanya di dunia, tetapi harus berlanjut hingga alam setelah dunia (akhirat).

Pandangan yang khas dari seorang Muslim tentang dunia dan akhirat dapat dirumuskan sebagai: "Dunia adalah ladang akhirat." Artinya, dunia adalah wahana bagi manusia untuk bekerja dan beraktivitas (beramal saleh). Namun demikian, akhirat lebih baik daripada dunia. Oleh karena itu, Allah melarang kita untuk terikat pada dunia, sebab jika dibandingkan dengan kesenangan akhirat, kesenangan dunia tidaklah seberapa.

Allah menandaskan bahwa manusia diciptakan di dunia untuk berjuang (QS 90:4). Perjuangan ini akan mendapatkan ganjaran, baik di dunia maupun di akhirat. Perbuatan baik dibalas dengan kebaikan yang berlipat-lipat, perbuatan jahat dibalas dengan hukuman yang setimpal.

Oleh sebab itu, ma'ad diartikan juga sebagai imbalan/ganjaran. Implikasi nilai ini dalam kehidupan ekonomi dan bisnis misalnya, diformulasikan oleh Imam Al-Ghazali yang menyatakan bahwa motivasi para pelaku bisnis adalah untuk mendapatkan laba (laba dunia dan laba akhirat). Maka dari itu, konsep profit mendapatkan legitimasi dalam Islam.

Penutup

Kelima nilai yang telah diuraikan di atas menjadi dasar inspirasi untuk menyusun teori-teori dan proposisi ekonomi Islami. Berdasarkan kelima nilai tersebut, kita dapat menurunkan tiga prinsip derivatif yang menjadi ciri-ciri sistem ekonomi Islami. Prinsip derivatif tersebut adalah multiple ownership (kepemilikan multijenis), freedom to act (kebebasan bertindak/berusaha), dan social justice (keadilan sosial).
Rizki Gusnandar
Rizki Gusnandar Kelemahan terbesar kita adalah bersandar pada kepasrahan. Jalan yang paling jelas menuju kesuksesan adalah selalu mencoba, setidaknya satu kali lagi - Thomas A. Edison.