UMKM Indonesia: Penopang Kelancaran dan Stabilitas Perekonomian Nasional
Sektor UMKM banyak diminati karena bentuknya yang cukup sederhana, baik dari segi permodalan, sumber daya, teknologi, pasar, dan aspek legalitasnya yang tidak terlalu rumit. Meskipun terkesan sederhana, unsur-unsur tersebut harus dioptimalkan (Sukandar, 2017).
UMKM merupakan kelompok usaha yang cukup besar di Indonesia. Sektor ini telah terbukti mampu menahan serangan krisis ekonomi pada tahun 1997 dan 2008. Ketahanan ini disebabkan oleh sumber dayanya yang mudah didapatkan sehingga tidak serentan korporasi besar.
Saat ini, jumlah UMKM di Indonesia yang lebih dari 50 juta unit mampu menyerap lebih dari 90 persen tenaga kerja Indonesia dan menyumbang lebih dari 50 persen GDP nasional. Berdasarkan pada data tersebut, sektor ini membentang seluas harapan Anda untuk meroketkan bisnis kecil dan menengah.
Hubungan kemitraan antara UMKM dan usaha besar harus dilandasi prinsip saling membutuhkan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan. Hubungan itu juga harus menjunjung tinggi etika bisnis yang sehat dan dijalankan dengan kedudukan hukum yang setara.
UMKM merupakan kelompok usaha yang cukup besar di Indonesia. Sektor ini telah terbukti mampu menahan serangan krisis ekonomi pada tahun 1997 dan 2008. Ketahanan ini disebabkan oleh sumber dayanya yang mudah didapatkan sehingga tidak serentan korporasi besar.
Saat ini, jumlah UMKM di Indonesia yang lebih dari 50 juta unit mampu menyerap lebih dari 90 persen tenaga kerja Indonesia dan menyumbang lebih dari 50 persen GDP nasional. Berdasarkan pada data tersebut, sektor ini membentang seluas harapan Anda untuk meroketkan bisnis kecil dan menengah.
UMKM juga punya tantangannya tersendiri, yaitu kualitas sumber daya manusia, akses teknologi, keterbatasan pasar, dan pembiayaan. Produk-produk UMKM yang aslinya kreatif dan inovatif belum memiliki dukungan tangan-tangan sumber daya manusia dan managerial skill yang mumpuni.
Akses teknologi yang rendah membuat proses produksi masih tradisional dan belum efisien serta belum menjangkau pasar yang luas (luar negeri) secara optimal. Selain itu, dukungan pembiayaan terhadap UMKM pun masih terbatas, baik pembiayaan modal kerja maupun investasi pengembangan usaha.
Walhasil, produk yang dihasilkan dan pangsa pasarnya belumlah seoptimal yang diharapkan. Bila Anda cukup bijak, keterbatasan-keterbatasan tersebut seharusnya dipandang dalam perspektif yang lebih positif yaitu sebagai tantangan terbuka.
Pelaku UMKM tidak cukup hanya mencari dukungan, tetapi juga secara mandiri bekerja cerdas untuk mengoptimalkan sumber daya, teknologi, pembiayaan, dan pengembangan pasar. Apalagi dengan masuknya era globalisasi, di mana UMKM akan bersaing ketat dengan produk-produk impor.
Baca Juga: 6 Jenis Copywriting yang Sering Digunakan
Kondisi itu tentunya menuntut lebih atas kreativitas dan inovasi Anda sebagai pelaku bisnis. Mengubah sumber daya yang biasa-biasa saja menjadi barang dan jasa yang diperlukan seluas-luasnya pasar. Dalam mewujudkan cita-cita bisnis, tentunya tidak bisa bekerja sendirian.
Kemitraan menjadi penting karena Anda memerlukan dukungan, baik sumber daya, akses teknologi, pembiayaan, dan pengembangan pasar. Untuk melindungi diri dari kemitraan yang tidak adil, Anda harus bersiap-siap menyusun kontrak bisnis sendiri.
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, setiap bentuk kemitraan yang dilakukan oleh UMKM dituangkan ke dalam perjanjian kemitraan yang dibuat secara tertulis. Dalam undang-undang tersebut, klasifikasi UMKM dilakukan berdasarkan nilai kepemilikan aset dan omset usaha dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Usaha Mikro
Usaha mikro adalah usaha produktif milik perseorangan atau badan usaha yang memiliki kekayaan bersih maksimal Rp50.000.000 atau memiliki hasil penjualan tahunan maksimal Rp300.000.000. Contohnya yaitu usaha kue tradisional, usaha sablon, dan usaha warung sembako.
2. Usaha Kecil
Usaha kecil merupakan usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, baik dilakukan oleh orang perseorangan maupun badan usaha. Usaha kecil yang dimaksud di sini bukanlah anak perusahaan atau cabang perusahaan milik usaha menengah atau usaha besar.
Usaha kecil memiliki kekayaan bersih Rp50.000.000 hingga Rp500.000.000 atau memiliki hasil penjualan tahunan Rp300.000.000 hingga Rp2.500.000.000. Contohnya adalah jasa laundry, jasa cuci motor dan usaha warung kopi.
3. Usaha Menengah
Usaha menengah yaitu usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, baik yang dilakukan oleh orang perseorangan maupun badan usaha. Usaha menengah bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan milik usaha kecil atau usaha besar.
Usaha menengah memiliki kekayaan bersih Rp500.000.000 hingga Rp10.000.000.000 atau memiliki hasil penjualan tahunan Rp2.500.000.000 hingga Rp50.000.000.000. Contohnya adalah usaha kuliner, usaha fashion, dan usaha otomotif.
4. Usaha Besar
Usaha besar ialah usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh badan usaha dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan lebih besar dari usaha menengah. Hal tersebut meliputi usaha nasional milik negara atau swasta, usaha patungan, dan usaha asing yang berada di Indonesia.
Hubungan kemitraan antara UMKM dan usaha besar harus dilandasi prinsip saling membutuhkan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan. Hubungan itu juga harus menjunjung tinggi etika bisnis yang sehat dan dijalankan dengan kedudukan hukum yang setara.
Dalam hubungan kemitraan, usaha besar harus memberikan bantuan dan memperkuat UMKM. Hubungan itu mencakup proses alih keterampilan bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber daya manusia, serta teknologi.
Dalam menjalin kemitraan, UMKM dan usaha besar dilarang saling memutuskan hubungan mereka secara sepihak. Dalam kemitraan, usaha besar juga dilarang untuk menguasai UMKM yang menjadi mitranya.
Demikian pula usaha menengah dilarang untuk menguasai usaha mikro atau usaha kecil yang menjadi mitranya. UMKM dan usaha besar justru harus membangun konstruksi hubungan bisnis yang kuat serta dilaksanakan dengan hubungan yang setara dan menjunjung tinggi etika bisnis yang sehat.
Prinsip-prinsip tersebut harus tertuang dalam kontrak kemitraan. Untuk mewujudkannya, sebuah UMKM harus melengkapi dirinya dengan bukti legalitas usaha dalam bentuk surat izin usaha, tanda bukti pendaftaran, atau tanda bukti pendataan.
Untuk mempermudah perizinan, pemerintah wajib memberikan keringanan persyaratan agar mudah dipenuhi. Perizinan dilaksanakan dengan menyelenggarakan pelayanan terpadu satu pintu yang mana pelaksanaannya dilakukan dengan prinsip penyederhanaan tata cara pelayanan dan jenis perizinan.
Demikianlah pembahasan tentang usaha mikro, kecil, dan menengah. Sejauh ini, struktur UMKM Indonesia tidak berubah yang mana sekitar 98,7 persen didominasi oleh usaha mikro sehingga mengindikasikan bahwa usaha mikro tidak kunjung naik kelas menjadi usaha kecil atau menengah.