Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Konsep Utilitas dan Maslahah bagi Konsumen Muslim

Seseorang dalam memutuskan untuk mengalokasikan pendapatannya akan membentuk fungsi permintaan terhadap barang atau jasa. Dalam konsep ekonomi konvensional, konsumen dalam mengeluarkan uangnya diasumsikan selalu bertujuan untuk memperoleh kepuasan (utility).

Utility secara bahasa berarti berguna (usefulness), membantu (helpfulness), atau menguntungkan (advantage). Dalam konteks ekonomi, utilitas dimaknai sebagai kegunaan barang yang dirasakan oleh seorang konsumen pada saat mengonsumsi suatu barang (ADESy, 2016).

Oleh karena itu, sering kali utilitas dimaknai juga sebagai rasa puas dan kepuasan yang dirasakan oleh seorang konsumen dalam mengonsumsi suatu barang atau jasa. Jadi, kepuasan dan utilitas dianggap sama, meskipun sebenarnya kepuasan adalah akibat yang ditimbulkan oleh utilitas.

Jika menggunakan teori konvensional, maka konsumen diasumsikan selalu ingin mencapai kepuasan yang tertinggi. Konsumen memilih mengonsumsi barang X atau Y tergantung pada tingkat kepuasan yang diberikan oleh kedua barang tersebut.

Ia akan memilih barang X jika memberikan kepuasan yang lebih tinggi dibandingkan Y. Pertanyaannya adalah mungkinkah konsumen mengonsumsi barang yang lebih mempunyai kepuasan? Mengenai hal ini, tentunya konsumen akan melihat dana atau anggaran yang dimiliki.

Kalau konsumen mempunyai sejumlah dana untuk membelinya, maka ia akan membeli. Namun, konsumen bisa saja mengalokasikan anggarannya untuk membeli barang lain yang kepuasannya maksimal dan sesuai dengan anggaran yang dimiliki.

Setidaknya terdapat dua hal penting untuk dikritisi. Pertama, tujuan konsumen adalah mencari kepuasan tertinggi, yaitu penentuan barang atau jasa yang dikonsumsi didasarkan pada kriteria kepuasan.

Lantas, apakah barang yang memuaskan selalu diidentik dengan barang yang membawa manfaat atau kebaikan (maslahah)? Jawabannya adalah belum tentu. Ke dua, faktor yang menjadi pembatas konsumen dalam mengonsumsi suatu barang atau jasa hanyalah pada jumlah anggaran yang dimiliki.

Selama masih mempunyai anggaran yang cukup untuk membeli barang atau jasa, konsumen akan terus mengonsumsi barang tersebut. Sikap yang semacam ini jelas akan menafik pertimbangan kepentingan orang lain atau berbagi dengan orang lain.

Konsep ekonomi Islam tidak dapat menerima sepenuhnya perilaku konsumsi seperti yang diilustrasikan di atas. Konsumsi yang diperkenalkan dalam konsep Islam selalu berpedoman pada ajaran Islam. Salah satunya adalah perlunya memperhatikan orang lain dalam membelanjakan harta.

Sebagaimana hadis yang menyatakan bahwa "Diharamkan bagi seorang Muslim hidup dalam keadaan serba berkelebihan sementara ada tetangganya yang menderita kelaparan". Jadi, tujuan konsumsi itu sendiri di mata seorang Muslim adalah lebih mempertimbangkan maslahah daripada utilitas.


Itulah yang dilakukan oleh seorang Muslim, ia membagi 2,5 persen pendapatannya untuk diberikan kepada orang yang tidak mampu dalam bentuk zakat. Menurut pandangan seorang Muslim, seharusnya konsumsi mempunyai nilai maslahah selain hanya untuk memuaskan diri pribadi.

Maslahah adalah segala bentuk keadaan, baik material maupun non material, yang mampu meningkatkan kedudukan manusia yang paling mulia. Menurut as-Shatibi, maslahah dasar bagi kehidupan manusia terdiri dari lima hal, yaitu:
  • agama (dien),
  • jiwa (nafs),
  • intelektual ('aql),
  • keluarga dan keturunan (nasl), serta
  • material (wealth).

Kelima hal tersebut merupakan kebutuhan dasar manusia atau kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi agar manusia dapat hidup bahagia di dunia dan akhirat. Dalam konsep Islam, seseorang akan mendapatkan kepuasan yang maksimum jika konsumsinya mengandung maslahah.

Pencapaian maslahah merupakan tujuan dari syariat Islam (maqashid syariafi) yang tentu saja harus menjadi tujuan dari kegiatan konsumsi orang Muslim. Oleh karena itu, seorang konsumen Muslim tentunya cenderung untuk memilih barang dan jasa yang memberikan maslahah maksimum.

Tujuan tersebut sesuai dengan konsep Islam yang mengarahkan bahwa setiap pelaku ekonomi selalu ingin meningkatkan maslahah yang diperolehnya. Keimanan terhadap adanya kehidupan dan pembalasan yang adil di akhirat seharusnya memiliki pengaruh terhadap kegiatan konsumsi.

Sejauh ini dapat ditarik suatu pemahaman bahwa kepuasan merupakan suatu akibat dari terpenuhinya suatu keinginan, sedangkan maslahah merupakan suatu akibat atas terpenuhinya suatu kebutuhan. Itulah yang seharusnya dilakukan oleh seorang konsumen Muslim.

Menurut pandangan seorang konsumen Muslim, membelanjakan harta karena maslahah merupakan suatu kebutuhan dalam upaya mencari kepuasan jiwa dan hatinya. Sementara itu, kepuasan hanya bisa dinikmati oleh individu yang membelanjakan hartanya untuk barang atau jasa.

Berbeda dengan kepuasan, maslahah tidak hanya bisa dirasakan oleh individu. Misalnya, seseorang membeli makanan yang kemudian diberikan kepada tetangganya yang miskin, sehingga maslahah fisik atau psikis akan dinikmati oleh tetangga yang mendapatkan makanan tersebut.

Untuk mengeksplorasi konsep maslahah secara detail, aktivitas konsumen dapat digolongkan menjadi dua, yaitu konsumsi yang ditujukan untuk sedekah dan konsumsi untuk memenuhi keinginan semata. Jenis yang pertama adalah pembelian barang atau jasa untuk diberikan kepada orang miskin.

Sedangkan jenis yang ke dua ialah konsumsi untuk memenuhi keinginan sendiri. Pada dasarnya, konsumsi ibadah merupakan segala konsumsi atau menggunakan harta di jalan Allah (fii sabilillah). Islam memberikan imbalan terhadap konsumsi ibadah dengan pahala yang sangat besar.

Jika Anda belanja satu unit untuk disedekahkan kepada orang lain, maka akan mendapatkan balasan 10 unit. Jika setiap kali Anda melakukan amal kebaikan semacam ini, maka akan mendapatkan imbalan pahala yang sama yaitu 10 kali lipat.


Besarnya berkah yang diterima berkaitan dengan besarnya pahala dan maslahah yang ditimbulkan. Nabi Muhammad pernah mengatakan bahwa "Amal sedekah yang paling mulia (paling besar imbalan berkahnya) adalah sedekahnya orang yang membutuhkan kepada orang lain yang lebih membutuhkan".

Tabel Frekuensi Konsumsi, Utilitas Total, dan Marginal
Frekuensi Konsumsi Total Utility
(TU)
Marginal Utility
(MU)
1 10 -
2 18 8
3 24 6
4 28 4
5 30 2
6 32 2
7 32 0
8 30 -2

Sebagai ilustrasi, tabel di atas menyajikan bagaimana maslahah dari sedekah atau amal saleh konsumen Muslim. Konsumen Muslim tidak hanya akan merasakan manfaat akhirat bagi dirinya, tetapi juga perasaan aman dan tenteram akibat keberkahan yang diberikan oleh Allah.

Perasaan itulah yang dirasakan oleh konsumen Muslim selama mereka menjalankan ibadah sedekah, sehingga mereka selalu ingin terus menambah sedekahnya. Bahkan, konsumen Muslim tidak hanya bersedekah uang saja, tetapi juga apa pun yang mereka punya dan bisa dimanfaatkan oleh orang lain.

Dalam ilmu ekonomi konvensional dikenal adanya hukum penurunan utilitas marginal (law of diminishing marginal utility). Apabila seseorang mengonsumsi suatu barang dengan frekuensi yang diulang-ulang, maka nilai tambah kepuasan dari konsumsi berikutnya akan semakin menurun.

Pengertian konsumsi ini bisa dimaknai mengonsumsi apa saja, termasuk mengonsumsi waktu luang (leisure). Hal ini berlaku juga untuk setiap kegiatan yang dilakukan oleh seseorang, seperti yang dilakukan oleh pensiunan yang menggunakan waktunya untuk mengurus masalah sosial.

Utilitas marginal (MU) adalah tambahan kepuasan yang diperoleh konsumen akibat adanya peningkatan jumlah barang atau jasa yang dikonsumsi. Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, ilustrasi di bawah in akan menyajikan utilitas marginal yang dimaksud.

Gambar Utilitas Total dan Marginal

Konsep Utilitas dan Maslahah Menurut Pandangan Seorang Muslim

Gambar di atas menunjukkan bahwa nilai utilitas marginal semakin menurun. Penurunan ini bisa dirasakan secara intuitif. Jika seseorang mengonsumsi suatu barang atau jasa secara terus-menerus, maka nilai tambah kepuasan yang diperoleh akan semakin menurun.

Sebelum mencapai titik negatif, utilitas marginal sudah berada di titik kejenuhan terlebih dahulu yang ditunjukkan oleh nilai nol pada variabel tersebut. Pada titik kejenuhan ini, utilitas total mencapai nilai maksimumnya, yaitu 32.

Nah, hukum penurunan utilitas marginal tidak berlaku pada konsumsi ibadah. Meningkatnya frekuensi kegiatan tidak akan menurunkan sebuah keberkahan karena pahala yang diberikan atas ibadah mahdhah (termasuk sedekah) tidak akan pernah menurun.

Sedangkan konsumsi untuk kepentingan diri sendiri akan meningkat seiring dengan meningkatnya frekuensi kegiatan, tetapi pada level tertentu akan mengalami penurunan. Sebab, tingkat kebutuhan manusia di dunia sangatlah terbatas.


Demikianlah pembahasan tentang konsep utilitas dan maslahah bagi konsumen muslim. Dengan hadirnya maslahah akan memberikan warna tersendiri dari setiap kegiatan yang dilakukan oleh seorang konsumen Muslim.
Rizki Gusnandar
Rizki Gusnandar Kelemahan terbesar kita adalah bersandar pada kepasrahan. Jalan yang paling jelas menuju kesuksesan adalah selalu mencoba, setidaknya satu kali lagi - Thomas A. Edison.