Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Realokasi Sumber Daya oleh Negara

Situsekonomi.com - Negara merupakan lembaga yang diserahi oleh Allah untuk mengatur termasuk mengalokasikan (realokasi) sumber daya bersama dan negara. Realokasi sumber daya oleh negara tidaklah sama dengan konsep negara kesejahteraan versi neo klasik dengan efisiensi ekonominya (ADESY, 2016: 309).

Namun alokasi sumber daya berdasarkan ketentuan hukum syara', perkara wajib didahulukan kemudian boleh. Alokasi perkara wajibpun diberikan kepada yang berhak menerimanya berdasarkan ketentuan syara'. QS An-Nisa' (4): 58 dinyatakan bahwa:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Realokasi sumber daya oleh negara juga telah disyariatkan dalam Islam, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu'alaihi wasallam:
Seorang Imam (Khalifah/kepada negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang diurusnya". (HR al-Bukhari dan Muslim)

Rasulullah shalallahu'alaihi wasallam bersabda: "Siapa pun yang mengepalai salah satu urusan kaum muslimin dan tetap menjauhkan diri dari mereka dan tidak membayar dengan perhatian pada kebutuhan dan kemiskinan mereka, Allah akan tetap jauh dari dirinya pada hari kiamat..."[Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Hakim].

Tangga realokasi sumber daya dalam Islam terdiri dari tiga situasi, yaitu: (i) alokasi sumber daya yang diwajibkan; (ii) alokasi penyediaan sumber daya dalam status hukum boleh, dan (iii) alokasi jika terdapat pertentangan dalam penyediaan sumber daya dengan status hukum boleh. Secara jelas, tangga alokasi disajikan sebagaimana yang tertera pada gambar di bawah ini.

Realokasi Sumber Daya dalam Islam

Realokasi Sumber Daya oleh Negara

Penentuan alokasi sumber daya bersama secara hukum syara' harus memerhatikan status hukum sumber daya barang/jasa yang disediakan, apakah wajib atau boleh. Status hukum barang/jasa makruh hendaknya dihindari; sementara barang/jasa haram jelas-jelas tidak boleh disediakan oleh negara (ADESY, 2016: 310).

Jika fasilitas umum memiliki status yang wajib disediakan berdasarkan hukum syara', maka tidak ada tawar menawar bagi pemerintah untuk tidak menyediakannya. Pemerintah harus dengan segenap hati dan usaha menyediakan apa-apa yang diwajibkan oleh hukum syara' bagi kepentingan dan kelangsungan hidup umat. Contoh sumber daya tersebut adalah fasilitas dan sarana umum. Sebagaimana kaidah fikih:
Kebutuhan yang umum termasuk darurat.

Kebutuhan umum (hajat hidup orang banyak) merupakan sesuatu yang darurat karena dikhawatirkan akan menimbulkan kebinasaan atau kecacatan jika tidak tersedia. Ini bisa didasarkan pada dugaan kuat jika tidak sampai meyakinkan. Contohnya adalah fasilitas air bersih bagi penduduk, yang jika tidak tersedia akan membawa pada kondisi 'hampir binasa'.

Alokasi sumber daya yang bersifat wajib ini tidak boleh digantikan oleh yang bersifat selain wajib, sebagaimana kaidah fikih:
Sesuatu yang wajib tidak dapat ditinggalkan kecuali dengan yang wajib pula.

Pada sisi lain, alokasi sumber daya dengan status hukum boleh menempati tangga alokasi setelah hal yang wajib. Contoh sumber daya bersama dalam bentuk fasilitas yang masuk dalam status hukum asal boleh, yaitu sarana olahraga (ADESY, 2016: 311).

Selanjutnya jika terjadi konflik hukum antara dua atau lebih alokasi sumber daya bersama (khusus fasilitas kategori boleh) maka penyediaan sumber daya tersebut haruslah membawa pada kebaikan atau kemaslahatan. Jika terdapat beberapa pilihan, maka kepentingan yang lebih mendasar dipilih (kemaslahatan terbesar).

Namun, jika salah satu sumber daya yang akan disediakan terkait untuk menghindarkan umat dari kerusakan maka yang didahulukan merupakan jenis sumber daya yang menolak kerusakan tersebut. Urutan alokasi ini didasarkan pada beberapa kaidah fikih berikut.
Segala urusan umat Islam harus membawa kepada hal-hal yang baik.
Apabila terjadi adanya bertentangan kepentingan (kemaslahatan umat), maka didahulukan kepentingan yang lebih mendasar (kepentingan yang lebih besar).
Menolak kerusakan lebih diutamakan dari mengharapkan kemaslahatan.

Dengan demikian, negara dapat memilih dan/atau mengalihkan penggunaan suatu sarana ke penggunaan lain. Misalnya negara telah membangun fasilitas studio olahraga untuk kepentingan masyarakat, namun karena pertimbangan tertentu, negara mengubahnya menjadi sarana ibadah mesjid.

Jelas hal itu dibolehkan, sebab dalam hukum syara' shalat merupakan hal yang wajib, sementara olahraga termasuk dalam aktivitas dengan hukum asal 'boleh'. Karena hukum asal shalat lebih tinggi dari olahraga, maka hukum tertinggi yang diambil atau dilaksanakan.

Pada sisi lain, jika pemerintah berniat mengubah sarana olahraga menjadi mall besar? Jelas ini dilarang dalam hukum syara'. Sekalipun tanah tersebut merupakan atau hanya sebagai hak pakai bagi mall, tetap tidak dibolehkan, sebab tindakan ini justru menguatkan posisi kapitalis/pemilik modal.

BACA JUGA:

Jikapun pemerintah berniat membangun sarana ekonomi namun sarana tersebut hendaknya tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat bawah, misalnya dengan mengubah pemanfaatan sarana olahraga menjadi pasar rakyat. Dengan demikian, peralihan sarana olahraga ke sarana ekonomi atau pasar rakyat menempati status hukum yang sama, sehingga boleh memilih, namun tetap mempertimbangkan: fasilitas yang lebih meminimumkan kerusakan dan mengandung kemaslahatan terbesar.
Rizki Gusnandar
Rizki Gusnandar Kelemahan terbesar kita adalah bersandar pada kepasrahan. Jalan yang paling jelas menuju kesuksesan adalah selalu mencoba, setidaknya satu kali lagi - Thomas A. Edison.