Zakat sebagai Wujud Pemberdayaan Ekonomi Umat
Hal ini tampak bahwa momen zakat merupakan tonggak dasar dalam menata kehidupan umat manusia dengan asas tolong menolong antara satu dan lainnya. Dengan kata lain, yang mempunyai kelebihan harta (benda) dapat memberikan sebagian kepada orang yang tidak memiliki. Pada pandangan agama Islam telah diungkapkan dalam Al-Qur'an surat Al-Maidah (5): 2 sebagai berikut:
...dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
Berdasarkan pada pandangan di atas, maka sebagai makhluk ciptaan Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang hendaknya dapat membantu sesama umat agar hidupnya layak dengan tetap berpegang teguh pada kaidah-kaidah agama (ketakwaan pada Allah Subhanahu Wa Ta'ala). Kelayakan hidup umat manusia sangat tergantung pada rezeki yang dianugerahkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang diperoleh melalui berbagai upaya dan diiringi pula dengan berdoa agar tetap dalam koridor-Nya.
Namun demikian, jika dalam perolehan rezeki terdapat kelebihan, maka perlu dikeluarkan sebagian kepada yang membutuhkan. Pada pandangan ini, tampak bahwa fungsi zakat telah ada, yakni berbagi kepada sesama.
Zakat merupakan perintah Allah Subhanahu Wa Ta'ala seperti yang telah dipraktikkan oleh orang-orang terdahulu. Kajian zakat telah diatur dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Manusia sebagai insan ciptaan Allah Subhanahu Wa Ta'ala menyadari diri bahwa segala apa yang dilaksanakan merupakan tuntunan dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Oleh karena itu, apa yang diperintahkan oleh Allah wajib hukumnya untuk dipatuhi atau dilaksanakannya. Demikian halnya perintah untuk mengeluarkan zakat (ADESY, 2016: 395).
Dalam perjalanan hidup manusia, ada yang diberikan kelebihan harta oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan juga ada yang dikategorikan sebagai penerima zakat. Bagi yang kelebihan harta diwajibkan untuk mengeluarkan sebagian harta (rezeki) yang telah diberikan sesuai aturan dan anjuran agama, sedangkan bagi penerima zakat menunggu uluran tangan atau bantuan dari yang berkelebihan harta tersebut.
Bagi pemberi zakat disebut sebagai muzakki, sedangkan bagi penerima zakat disebut sebagai mustahik. Baik muzakki maupun mustahik sama-sama hamba Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang diatur dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Asas kebersamaan dapat bermakna pada perhatian kepada fakir miskin, di mana Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman pada surat Al-Ma'un (107): 1-3 yang berbunyi sebagai berikut:
Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.
Selanjutnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda yang artinya sebagai berikut:
Tidaklah beriman kepadaku, orang yang semalaman merasa kenyang sedangkan tetangga di sampingnya kelaparan dan iapun mengetahuinya (HR Tabrani)
Lebih lanjut, Islam mengajak kepada umatnya agar selalu beramal dan bersedekah. Hal ini disebutkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang tertera dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah (2): 261 yang berbunyi sebagai berikut:
Perumpamaan orang yang membelanjakan harta mereka di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir biji, yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai tumbuh seratus biji, Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi orang yang dikehendaki-Nya dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) dan Maha Mengetahui.
Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda yang diriwayatkan Thabrani dan Abu Naim yang berbunyi:
Katakanlah: "Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)". Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah pemberi rezeki yang sebaik-baiknya. (QS Saba [34]: 39). "Bersedekahlah kamu, sesungguhnya sedekah itu menjauhkan kamu dari neraka" (HR Thabrani & Abu Naim).
Selanjutnya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda yang artinya sebagai berikut:
Jagalah dirimu dari neraka meskipun hanya dengan sedekah satu biji kurma (HR Bukhari dan Muslim). Kita semua wajib membayar zakat sesuai dengan ketentuan syariat. "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka..." (QS At-Taubah [9]: 103).
Lebih lanjut, Allah Subhanahu Wa Ta'ala menjelaskan tentang subjek maupun objek daripada zakat sesuai firman-Nya pada surat At-Taubah (99): 60 yang berbunyi:
Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang fakir, orang miskin, pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang berutang, untuk jalan Allah (sabilillah), dan orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketentuan yang diwajibkan oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.
Berdasarkan ayat di atas, kita dapat mengetahui bahwa ada delapan golongan pelaku dan sasaran daripada zakat, yakni: (1) fakir, yaitu orang yang tidak berdaya sama sekali dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, (2) miskin, yaitu orang yang berdaya, namun tidak mencukupi kebutuhan hidupnya, (3) pengurus zakat (amil), yaitu orang atau badan yang diamanahkan untuk mengumpul dan menyalurkan zakat, (4) para muallaf, yaitu orang yang baru masuk agama Islam, (5) memerdekakan budak, yaitu orang yang telah bebas dari cengkraman/penindasan terhadap hak asasi manusia, (6) berutang, yaitu orang yang mempunyai utang di mana cukup sulit melunasinya, (7) sabilillah, yaitu orang yang berjuang membela agama Islam, dan (8) perjalanan (musafir), yaitu orang yang mengadakan perjalanan dan kehabisan bekal (ADESY, 2016: 396).
Memberdayakan ekonomi umat. Zakat merupakan wadah antara pemberi zakat (muzakki) dan penerima (mustahik). Jika terjalin kerja sama antara keduanya dengan mengacu pada perintah Allah Subhanahu Wa Ta'ala maka secara ekonomi dapat membahagiakan/mensejahterakan umat manusia. Hal ini terwujud pada beberapa hal seperti berikut:
- Pemberi zakat dapat menjalankan kewajibannya, sehingga secara batiniah dapat menenangkan jiwanya.
- Penerima zakat dapat memenuhi standar hidupnya.
- Pemberi zakat dan penerimaan zakat terjalin silaturahmi secara manusiawi.
- Pemerintah (ulil amri), di mana secara sosial (social oriented) dapat menciptakan kesejahteraan masyarakat.
BACA JUGA:
Manfaat positif dari zakat itu sendiri. Pada dasarnya, hakikat zakat itu sendiri dapat tercermin pada berbagai hal, yang meliputi:
- Zakat itu wajib. Perintah Allah Subhanahu Wa Ta'ala tentang zakat merupakan perkara wajib yang dilaksanakan oleh umat Islam bagi yang berkelebihan. Zakat merupakan rukun Islam keempat dari lima rukun Islam, yakni (1) mengucapkan dua kalimat syahadat, (2) shalat lima kali sehari semalam, (3) berpuasa pada bulan Ramadhan, (4) berzakat, dan (5) naik haji bagi yang mampu.
- Zakat itu indah. Allah Subhanahu Wa Ta'ala menciptakan langit dan bumi serta makhluknya dalam berbagai bentuk sesuai kehendaknya (iradah). Bentuk tersebut dalam bentuk yang indah. Demikian halnya dalam proses pelaksanaan zakat tercermin keindahan bagi makhluk yang saling membantu pada sesamanya.
- Zakat itu subur. Secara hakikat, zakat dapat menambah kepuasan (satisfaction) secara personal dan menambah/meningkatkan harta benda (zakat mal).
- Zakat itu tenang. Dengan berzakat dapat menciptakan suatu ketenangan bagi pembayar zakat (muzakki) karena telah menjalankan kewajibannya. Demikian halnya bagi penerima (mustahik) akan tercipta ketenangan dalam hidupnya apabila ia menerima zakat secara ikhlas dari muzakki.
- Zakat itu bersih & suci. Zakat dapat membersihkan dan menyucikan diri dan harta yang diperoleh. Penyucian diri secara individual merupakan aplikasi fitrah manusia sebagai ciptaan Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Hal ini tercermin dengan dilakukannya zakat fitrah sebagai penyucian diri secara pribadi. Selanjutnya pada zakat harta (maal) dapat dilakukan sebagai penyucian dari harta benda yang dimilikinya.