Pelarangan Riba Sebagai Prinsip Islam di Pasar Modal
Situsekonomi.com - Perbedaan paling signifikan antara sistem keuangan konvensional dan sistem keuangan Islam terletak pada cara kedua sistem tersebut memperlakukan riba. Sistem keuangan konvensional menjadikan riba sebagai inti dari seluruh aktivitas bisnis, bahkan menjadi sumber utama pendapatan usaha, sedangkan sistem keuangan Islam menjadikan riba sebagai variabel yang dilarang (haram). Oleh sebab itu, riba adalah variabel yang harus dihindari dalam setiap kegiatan di pasar modal Islam (Abdalloh, 2019: 22).
Baca Juga: Sejarah Pengelolaan Keuangan Negara
Sumber: 101kfe.id
Pertanyaan selanjutnya, apa sih yang dimaksud dengan riba? Al-Qur'an tidak secara gamblang menjelaskan definisi riba. Itulah sebabnya timbul perbedaan pendapat (ikhtilaf) para ulama tentang definisi riba dalam praktik keuangan Islam.
Secara harfiah, riba diartikan sebagai kelebihan (excess), tambahan (addition), kenaikan (increase), atau pertumbuhan (growth). Meskipun demikian, tidak semua kelebihan, tambahan, kenaikan maupun pertumbuhan dilarang oleh Islam atau termasuk ke dalam riba.
Mayoritas ulama mendefinisikan riba sebagai suatu tambahan (harta) yang dipertukarkan (ditransaksikan), baik terjadi pada perjanjian (akad) pertama maupun pada saat perubahan (adendum) perjanjian. Tambahan tersebut adalah janji yang besaran atau persentasenya dipersyaratkan pada saat awal transaksi.
Baca Juga: 4 Alasan Kuat Mengapa Riba Diharamkan
Dari definisi tersebut terlihat bahwa riba tidak ada hubungannya dengan besaran nilai kerugian yang ditanggung atau besaran nilai tambah yang dibebankan kepada para pihak, tetapi sangat dipengaruhi oleh adanya tambahan yang dipersyaratkan. Artinya, meskipun para pihak yang terlibat transaksi riba menyatakan tidak keberatan atau tidak dirugikan dengan besaran nilainya, tetapi secara hukum Islam transaksi tersebut termasuk ke dalam transaksi yang dilarang (haram). Fatwa DSN-MUI No. 80 tentang Penerapan Prinsip Syariah dalam Mekanisme Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas di Pasar Reguler Bursa Efek, mendefinisikan riba sebagai tambahan yang diberikan dalam pertukaran barang-barang ribawi (al-amwal al-ribawiyah) dan tambahan yang diberikan atas pokok utang dengan imbalan penangguhan pembayaran secara mutlak.
Dalam konteks pasar modal syariah, definisi riba adalah suatu tambahan dalam transaksi Efek yang ditetapkan atau diperjanjikan di depan dan menjadi bagian tidak terpisahkan dari transaksi tersebut. Riba bersifat mengikat para pihak yang terlibat dalam transaksi. Riba dalam transaksi Efek syariah kemungkinan terdapat pada penerbitan Efek, cara transaksi Efek dan jenis Efek yang dijadikan objek transaksi.
Pasar modal syariah Indonesia menjadikan fatwa DSN-MUI sebagai rujukan utama dalam hal penerapan prinsip Islam di pasar modal. Oleh sebab itu, definisi riba yang digunakan di pasar modal syariah Indonesia adalah definisi yang tertuang di fatwa DSN-MUI. Bentuk riba yang dikategorikan haram sebagai turunan dari definisi tersebut diatur oleh regulasi pasar modal syariah Indonesia yang dikeluarkan OJK.
Baca Juga: Pengertian Pasar Modal
Jenis-jenis Riba
Penamaan atau pengelompokkan jenis riba adalah hasil ijtihad ulama. Oleh sebab itu, banyak terjadi perbedaan pendapat di antara mereka, baik dalam hal penamaan, definisi atau ciri-ciri dan karakter dari jenis atau kelompok riba.
Meskipun demikian, satu hal yang jelas dan disepakati ulama adalah sumber adanya riba. Hanya ada dua jenis transaksi yang menjadi sumber atau menyebabkan riba, pertama transaksi utang piutang (pinjam-meminjam) baik uang atau barang dan transaksi pertukaran atau jual beli.
Pada dasarnya, Islam mengelompokkan transaksi utang piutang ke dalam transaksi sosial atau tolong-menolong (tabarru), sedangkan transaksi jual beli adalah transaksi bisnis atau komersial (tijarah). Artinya, secara tidak langsung sumber keberadaan riba bisa berasal dari transaksi sosial maupun komersial.
- Riba Qurudh
Riba qurudh adalah jenis riba yang terjadi dalam transaksi keuangan melalui pemberian pinjaman (utang). Sumbernya bisa berasal dari tambahan (keuntungan) dari sebuah produk keuangan (investasi) atau tambahan (bunga) dari pokok utang.
Tambahan tersebut dijamin akan diberikan secara tetap sampai dengan jatuh tempo tanpa memperhitungkan kinerja hasil investasi atau usahanya. Pembayarannya dapat dilakukan secara (langsung) tunai atau dicicil selama periode tertentu.
Produk investasi yang dapat menghasilkan riba qurudh adalah produk investasi yang berbasis surat utang. Sama seperti pinjaman (baik ke bank atau bukan), akad yang digunakan adalah akad utang atau pinjaman (biasanya dalam bentuk uang).
Atas dasar itulah maka bunga pinjaman (interest rate) dikategorikan riba sehingga haram hukumnya. Seharusnya transaksi utang piutang menggunakan akad sosial (qardh hasan) yang tidak mengenakan bunga dalam perjanjiannya.
Banyak referensi yang menyebutkan bahwa riba qurudh sama dengan riba jahiliah. Keduanya sama-sama berhubungan dengan transaksi utang piutang dengan objek uang. Penamaan qurudh (qardh) didasarkan kepada asal muasal transaksi yang berbasis sosial (qardh) tetapi kemudian dipersyaratkan tambahan (riba). Sedangkan penamaan riba jahiliah, berdasarkan pada pendapat ulama yang mengatakan bahwa riba yang dikenal dan dilakukan masyarakat jahiliah (masyarakat sebelum Islam datang) adalah riba yang muncul dari pinjam-meminjam uang.
Ada juga sebagian ulama yang mengelompokkan riba jahiliah berbeda dengan riba qurudh meskipun jenis transaksinya sama, yaitu utang piutang dengan objek uang. Perbedaannya terletak pada kapan tambahan (riba) itu ada dalam transaksi utang piutang.
Apabila riba dibebankan kepada pihak peminjam (pengutang) sebagai denda karena tidak mampu mengembalikan uang (membayar utang) pada waktu yang telah disepakati maka tambahan yang dibebankan disebut riba jahiliah. Riba qurudh merujuk kepada transaksi utang piutang di mana tambahannya ditetapkan di depan pada saat transaksi terjadi dan bersifat mengikat. Pada waktu jatuh tempo, utang yang harus dibayar adalah pokok dan tambahannya.
- Riba Buyu'
Riba buyu' menurut IOSCO adalah riba yang terjadi pada transaksi pertukaran (jual beli) dengan objeknya adalah enam jenis barang yang secara jelas disebutkan dalam hadis, yaitu emas, perak, gandum, garam, kurma, dan serealia (barley). Oleh sebab itu, ada ulama yang mengatakan bahwa riba buyu' adalah riba yang diharamkan oleh hadis.
Keenam jenis barang tersebut dikenal dengan istilah al-amwal al-ribawiyat (barang-barang ribawi). Mayoritas (jumhur) ulama sepakat bahwa barang/benda/harta ribawi yang dimaksud dalam hadis tersebut bersifat kontekstual bukan tekstual. Misalnya, uang dalam transaksi keuangan saat ini di-qiyas-kan ke emas dan perak karena dianggap 'illat-nya sama.
Penutup
Berdasarkan hadis, ada dua syarat yang harus dipenuhi agar pertukaran atau jual beli barang tidak termasuk riba, yaitu nilai, jumlah, timbangan, takaran harus sama dan pembayaran atau serah terima barang harus dilakukan secara tunai. Apabila salah satu syarat atau keduanya tidak terpenuhi, maka transaksi jual beli akan mengandung riba. Ada ulama yang mengelompokkan riba buyu' dengan riba fadhl, riba nashiah dan riba nasa' (yad) adalah satu jenis riba yang sama.