Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Implementasi Akad Jual-beli dalam Produk Pembiayaan Perbankan Syariah

Implementasi Akad Jual-beli dalam Produk Pembiayaan Perbankan Syariah

Pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah sangat berbeda dengan kredit yang diberikan oleh bank konvensional, misalnya adanya penerapan prinsip jual-beli dalam produk perbankan syariah. Bank konvensional memberikan pinjaman dalam bentuk uang segar (fresh money) yang siap digunakan oleh nasabah dengan kontraprestasi berupa bunga yang harus diberikan kepada bank (Umam, 2016: 116).

Adapun nasabah pada perbankan syariah langsung mendapatkan barang yang dibutuhkan dengan ketentuan bahwa nasabah wajib membayar kepada bank sebesar harga pokok (historical cost) ditambah mark up/margin keuntungan yang dikehendaki oleh pihak bank. Implementasi akad jual-beli ini secara teknis mendasarkan pada Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 10/14/DPbs tertanggal 17 Maret 2008, yang merupakan ketentuan pelaksana dari PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah, sebagaimana yang telah diubah dengan PBI No. 10/16/PBI/2008.

Implementasi Akad Murabahah dalam Produk Pembiayaan Perbankan Syariah

Akad murabahah sebagai salah satu bentuk jual-beli dapat diterapkan dalam produk penyaluran dana perbankan syariah. Keabsahan penggunaan akad tersebut sangat ditentukan oleh terpenuhinya rukun dan syarat.


Selain itu, dalam konteks Indonesia juga harus senantiasa dibuat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam kegiatan penyaluran dana berupa pembiayaan atas dasar akad murabahah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut:
  1. Bank bertindak sebagai pihak penyedia dana dalam rangka membelikan barang terkait dengan kegiatan transaksi murabahah dengan nasabah sebagai pihak pembeli barang;
  2. Barang adalah objek jual beli yang diketahui secara jelas kuantitas, kualitas, harga perolehan dan spesifikasinya;
  3. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk pembiayaan atas dasar akad murabahah, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah;
  4. Bank wajib melakukan analisis atas permohonan pembiayaan atas dasar akad murabahah dari nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisis atas karakter (character) dan/atau aspek usaha antara lain meliputi analisis kapasitas usaha (capacity), keuangan (capital), dan/atau prospek usaha (condition);
  5. Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya;
  6. Bank wajib menyediakan dana untuk merealisasikan penyediaan barang yang dipesan nasabah;
  7. Kesepakatan atas marjin ditentukan hanya satu kali pada awal pembiayaan atas dasar murabahah dan tidak berubah selama periode pembiayaan;
  8. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa akad pembiayaan atas dasar murabahah; dan
  9. Jangka waktu pembayaran harga barang oleh nasabah kepada Bank ditentukan berdasarkan kesepakatan Bank dan nasabah.


Bank juga dapat memberikan potongan dalam besaran yang wajar dengan tanpa diperjanjikan di muka. Di sisi lain, Bank dapat meminta ganti rugi kepada nasabah atas pembatalan pesanan oleh nasabah sebesar biaya riil.

Bank yang akan memberikan potongan dalam besaran yang wajar sebagaimana dapat berpedoman pada ketentuan yang tertuang dalam Fatwa DSN-MUI No. 16/DSN-MUI/IX/2000 tentang Diskon dalam Murabahah. Ketentuan dalam fatwa tersebut yaitu sebagai berikut:
  1. Harga (tsaman) dalam jual beli adalah suatu jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak, baik sama dengan nilai (qimah) benda yang menjadi objek jual beli lebih tinggi maupun lebih rendah.
  2. Harga dalam jual beli murabahah adalah harga beli dan biaya yang diperlukan ditambah keuntungan sesuai dengan kesepakatan.
  3. Jika dalam jual beli murabahah LKS mendapat diskon supplier, harga sebenarnya adalah setelah diskon karena itu adalah hak nasabah.
  4. Jika pemberian diskon terjadi setelah akad, pembagian diskon tersebut dilakukan berdasarkan perjanjian (persetujuan) yang dimuat dalam akad.
  5. Dalam akad, pembagian diskon setelah akad hendaklah diperjanjikan dan ditandatangani.


Kemudian, bank syariah akan mengenakan ganti rugi atas pembatalan pesanan yang dilakukan nasabah, maka berlakulah ketentuan Fatwa DSN-MUI No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi (Ta'widh). Ketentuan fatwa tersebut yaitu sebagai berikut:
  1. Ganti rugi (ta'widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain.
  2. Kerugian yang dapat dikenakan ta'widh sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) adalah kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas.
  3. Kerugian riil sebagaimana yang dimaksud ayat (2) adalah biaya-biaya riil yang dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yang seharusnya dibayarkan.
  4. Besar ganti rugi (ta'widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss atau al-furshah al-dhai'ah).
  5. Ganti rugi (ta'widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi (akad) yang menimbulkan utang-piutang (dain), seperti salam, istishna' serta murabahah dan ijarah.
  6. Dalam akad mudharabah dan musyarakah, ganti rugi hanya boleh dikenakan oleh shahibul maal atau salah satu pihak dalam musyarakah apabila bagian keuntungannya sudah jelas tetapi tidak dibayarkan.


Selain ketentuan umum, ganti rugi juga berlaku ketentuan khusus, yaitu sebagai berikut: (1) Ganti rugi yang diterima dalam transaksi di LKS dapat diakui sebagai hak (pendapatan) bagi pihak yang menerimanya; (2) Jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil dan tata cara pembayarannya tergantung kesepakatan para pihak; (3) Besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam akad; (4) Pihak yang cidera janji bertanggung jawab atas biaya perkara dan biaya lainnya yang timbul akibat proses penyelesaian perkara.

Implementasi Akad Salam dalam Produk Pembiayaan Perbankan Syariah

Akad salam merupakan salah satu bentuk jual beli dengan pesanan yang mana nasabah membayar di muka terhadap spesifikasi barang yang dipesan. SEBI No. 10/14/DPbS tertanggal 17 Maret 2008 memberikan ketentuan implementasi akad salam dalam produk pembiayaan sebagai berikut:
  1. Bank bertindak baik sebagai pihak penyedia dana maupun sebagai pembeli barang untuk kegiatan transaksi salam dengan nasabah yang bertindak sebagai penjual barang;
  2. Barang dalam transaksi salam adalah objek jual beli dengan spesifikasi, kualitas, jumlah, jangka waktu, tempat dan harga yang jelas, yang pada umumnya tersedia secara reguler di pasar, serta bukan objek jual beli yang sulit diidentifikasi ciri-cirinya di mana antara lain nilainya berubah-ubah tergantung penilaian subjektif;
  3. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk pembiayaan atas dasar akad salam, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk bank dan penggunaan dana pribadi nasabah;
  4. Bank wajib melakukan analisis rencana pembiayaan atas dasar salam kepada nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisis atas karakter (character) dan/atau aspek usaha antara lain meliputi analisis kapasitas usaha (capacity), keuangan (capital), dan/atau prospek usaha (condition);
  5. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa akad pembiayaan atas dasar salam;
  6. Pembayaran atas barang nasabah oleh Bank harus dilakukan di muka secara penuh yaitu pembayaran segera setelah pembiayaan atas dasar akad salam disepakati atau paling lambat tujuh hari setelah pembiayaan atas dasar akad salam disepakati; dan
  7. Pembayaran oleh bank kepada nasabah tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang nasabah kepada bank atau dalam bentuk piutang bank.


Dalam hal seluruh atau sebagian barang tidak tersedia sesuai kesepakatan, maka bank dapat: (a) Menolak menerima barang dan meminta pengembalian dana; (b) Meminta kepada nasabah untuk mengganti dengan barang lainnya yang sejenis dan/atau memiliki nilai yang setara; atau (c) Menunggu barang hingga tersedia. Kemudian, dalam hal bank menerima barang dengan kualitas lebih tinggi, maka bank tidak wajib membayar tambahan harga, kecuali terdapat kesepakatan kedua belah pihak, sedangkan dalam hal bank menerima barang dengan kualitas lebih rendah maka bank tidak diperkenankan untuk meminta potongan harga (discount), kecuali terdapat kesepakatan kedua belah pihak.

Implementasi Akad Istishna dalam Produk Pembiayaan Perbankan Syariah

Istishna sebagai salah satu akad yang didasarkan pada prinsip jual beli dapat diimplementasikan dalam produk pembiayaan bank syariah. Bagi bank syariah yang menyediakan produk istishna ini mendasarkan pada SEBI No. 10/14/DPbS tertanggal 17 Maret 2008. Dalam kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan atas dasar akad istishna berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut:
  1. Bank bertindak baik sebagai pihak penyedia dana maupun penjual barang untuk kegiatan transaksi istishna' dengan nasabah sebagai pihak pembeli barang;
  2. Barang dalam transaksi istishna' adalah setiap keluaran (output) yang antara lain berasal dari proses manufacturing atau construction yang melibatkan tenaga kerja dengan spesifikasi, kualitas, jumlah, jangka waktu, tempat, dan harga yang jelas serta disepakati oleh kedua belah pihak;
  3. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk pembiayaan atas dasar istishna', serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk bank dan penggunaan data pribadi nasabah;
  4. Bank wajib melakukan analisis atas permohonan pembiayaan atas dasar istishna' dari nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisis atas karakter (character) dan/atau aspek usaha antara lain meliputi analisis kapasitas usaha (capacity), keuangan (capital), dan/atau prospek usaha (condition);
  5. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa akad pembiayaan atas dasar istishna'; dan
  6. Pembayaran pembelian barang tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang atau dalam bentuk pemberian piutang.

Bank tidak dapat meminta tambahan harga apabila nasabah menerima barang dengan kualitas yang lebih tinggi, kecuali terdapat kesepakatan kedua belah pihak. Di samping itu, bank tidak harus memberikan potongan harga (discount) apabila nasabah menerima barang dengan kualitas yang lebih rendah, kecuali terdapat kesepakatan kedua belah pihak.

Penutup

Dengan demikian, jual beli sebagai suatu perbuatan hukum yang dihalalkan dalam Islam, ternyata cocok diterapkan dalam operasional perbankan syariah. Secara garis besar, produk perbankan syariah yang mendasarkan pada akad jual beli ini terdiri dari tiga macam, yaitu pembiayaan murabahah, pembiayaan salam, dan pembiayaan istishna. Dalam praktik perbankan syariah di Indonesia, pembiayaan murabahah yang paling sering dijumpai dibanding salam dan istishna, khususnya dalam pengadaan barang-barang kebutuhan sehari-hari, misalnya sepeda motor.
Rizki Gusnandar
Rizki Gusnandar Kelemahan terbesar kita adalah bersandar pada kepasrahan. Jalan yang paling jelas menuju kesuksesan adalah selalu mencoba, setidaknya satu kali lagi - Thomas A. Edison.