Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pengaturan Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah

Pengaturan Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah

Dalam literatur disebutkan bahwa terdapat dua pola penyelesaian sengketa, yakni the binding adjudicative procedure dan the on binding adjudicative procedure. The binding adjudicative procedure adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa yang dalam memutuskan perkaranya hakim atau orang yang ditunjuk mengikat para pihak. Sedangkan the on binding adjudicative procedure, yaitu suatu proses penyelesaian sengketa yang dalam memutuskan perkaranya hakim atau orang yang ditunjuk tidak mengikat para pihak (Salim, 2003).

Dalam konteks perbankan syariah, mengenai penyelesaian sengketa diatur melalui Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), Peraturan Bank Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Penjelasan mengenai substansi ketentuan tersebut terkait penyelesaian sengketa perbankan syariah adalah sebagai berikut (Umam, 2016):


1. Fatwa DSN-MUI

Fatwa DSN-MUI tentang akad-akad syariah yang dapat diterapkan dalam operasional perbankan syariah juga memuat klausula mengenai penyelesaian sengketa. Dalam Fatwa Nomor 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh) pada Bagian Ketiga butir ke-4 menegaskan bahwa:
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapainya kesepakatan melalui musyawarah.

Berdasarkan fatwa tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah dapat dilaksanakan melalui mekanisme arbitrase syariah dengan syarat bahwa penyelesaian secara musyawarah gagal dilakukan. Apabila dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka agar Badan Arbitrase Syariah mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan sengketa terlebih dahulu harus ada perjanjian arbitrase atau klausula arbitrase dalam akad yang dibuat antara bank syariah dan nasabahnya.


2. Peraturan Bank Indonesia (PBI)

Pengaturan penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui PBI, yakni diatur antara lain dalam PBI Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Dalam Pasal 20 dari PBI tersebut ditegaskan bahwa:
  1. Apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana yang diperjanjikan dalam Akad atau jika terjadi perselisihan di antara bank dan nasabah maka upaya penyelesaian dilakukan melalui musyawarah;
  2. Apabila musyawarah tersebut tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaian lebih lanjut dapat dilakukan melalui alternatif penyelesaian sengketa atau Badan Arbitrase Syariah.


PBI Nomor 7/46/PBI/2005 dalam perkembangannya dicabut dengan PBI Nomor 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. Terkait dengan penyelesaian sengketa diatur dalam Pasal 4, yakni:
  1. Apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana tertuang dalam Akad antara bank dengan nasabah, atau jika terjadi sengketa antara bank dengan nasabah, penyelesaian dilakukan melalui musyawarah.
  2. Apabila musyawarah tersebut tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan antara lain melalui mediasi, termasuk mediasi perbankan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  3. Apabila penyelesaian sengketa tersebut tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui mekanisme arbitrase syariah atau melalui lembaga peradilan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dari ketentuan yang ada dalam PBI tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sengketa yang terjadi antara nasabah dan bank syariah dapat diselesaikan melalui sarana litigasi maupun non-litigasi. Adapun penunjukan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, yakni PBI Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan sebagaimana telah diubah dengan PBI Nomor 10/1/PBI/2008, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.


3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama memberikan tambahan kewenangan lingkungan Peradilan Agama, yakni memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syariah. Perbankan syariah merupakan salah satu lingkup dari ekonomi syariah sebagaimana yang tercantum dalam penjelasan Pasal 49 huruf i Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Dengan demikian, sengketa perbankan syariah menjadi kompetensi absolut dari lingkungan Peradilan Agama, manakala para pihak tidak memperjanjikan hal yang lain.

4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

Penyelesaian sengketa dalam Undang-Undang Perbankan Syariah diatur dalam Pasal 55. Dalam pasal tersebut ayat (1) ditegaskan bahwa penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Kemudian, dalam ayat (2) ditegaskan bahwa apabila para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad dengan ketentuan bahwa penyelesaian sengketa sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah.
Rizki Gusnandar
Rizki Gusnandar Kelemahan terbesar kita adalah bersandar pada kepasrahan. Jalan yang paling jelas menuju kesuksesan adalah selalu mencoba, setidaknya satu kali lagi - Thomas A. Edison.