Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Restrukturisasi Pembiayaan Bermasalah pada Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah

Restrukturisasi Pembiayaan Bermasalah pada Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah

Untuk menghindari risiko kerugian, bank syariah dan unit usaha syariah berkewajiban menjaga kualitas pembiayaannya. Salah satu upaya untuk menjaga kelangsungan usaha nasabah, pembiayaan bank syariah dan unit usaha syariah dapat melakukan restrukturisasi pembiayaan atas nasabah yang memiliki prospek usaha dan/atau kemampuan membayar (Umam, 2016).

Penyebab terjadinya pembiayaan bermasalah adalah karena kesulitan-kesulitan keuangan yang dihadapi nasabah. Penyebab kesulitan keuangan perusahaan nasabah dapat dibagi dalam faktor internal dan faktor eksternal. Berikut ini penjelasannya:

1. Faktor Internal

Faktor internal adalah faktor yang ada di dalam perusahaan itu sendiri dan faktor utama yang paling dominan adalah manajerial. Timbulnya kesulitan-kesulitan keuangan perusahaan yang disebabkan oleh faktor manajerial dapat dilihat dari beberapa hal, seperti kelemahan dalam kebijakan pembelian dan penjualan, lemahnya pengawasan biaya dan pengeluaran, kebijakan piutang yang kurang tepat, penempatan yang berlebihan pada aktiva tetap, dan permodalan yang tidak cukup.


2. Faktor Eksternal

Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berada di luar kekuasaan manajemen perusahaan, seperti bencana alam, peperangan, perubahan-perubahan teknologi dan lain-lain (Arifin, 2006). Faktor eksternal ini memiliki kecenderungan yang sulit untuk dikontrol.

Untuk menentukan langkah yang perlu diambil dalam menghadapi kredit atau pembiayaan yang macet, terlebih dahulu diteliti sebab-sebab terjadinya kemacetan. Bila kemacetan disebabkan oleh faktor eksternal seperti bencana alam, bank tidak perlu lagi melakukan analisis lebih lanjut. Mengenai hal ini, yang perlu dilakukan oleh bank adalah bagaimana membantu nasabah untuk segera memperoleh penggantian dari perusahaan asuransi karena biasanya objek pembiayaan juga diasuransikan.

Sebaliknya, apabila kemacetan tersebut dikarenakan oleh faktor internal, maka pastikan bahwa bank telah melakukan pengawasan secara seksama dari bulan ke bulan dan tahun ke tahun. Seandainya upaya tersebut masih belum bisa mengatasi pembiayaan yang macet, berarti sedikit banyak terkait pula dengan kelemahan pengawasan itu sendiri. Kecuali seumpama aktivitas pengawasan telah dilaksanakan dengan baik namun masih juga terjadi kesulitan keuangan, maka perlu diteliti sebab-sebab kemacetan tersebut secara lebih mendalam.

Hal tersebut bisa saja disengaja oleh manajemen perusahaan, yang berarti pengusaha telah melakukan hal-hal yang tidak jujur. Misalnya dengan sengaja mengalihkan penggunaan dana yang tersedia untuk keperluan kegiatan usaha lain di luar objek pembiayaan yang disepakati.


Banyak cara yang dapat dilakukan oleh bank untuk penyelesaian pembiayaan macet ini, tergantung pada berat ringannya masalah yang dihadapi, serta sebab-sebab terjadinya kemacetan. Sekiranya pembiayaan itu masih dapat diharapkan akan berjalan dengan baik kembali, maka bank dapat memberikan keringanan-keringanan, misalnya menunda jadwal angsuran (rescheduling). Dalam hal ini, Al-Qur'an memberikan pedoman: "Apabila mereka mengalami kesempitan, maka hendaknya diberikan kelonggaran..." (QS. Al-Baqarah [2]: 280).

Bila potensi usahanya masih baik tetapi untuk memperbaiki kondisi usahanya perlu tambahan dana, bank dapat memberikan bantuan tambahan dana. Namun, umpamanya kondisi perusahaan sudah tidak dapat diharapkan lagi, maka bank dapat melakukan penghapusan piutang atau pembiayaan tersebut. Dalam hal ini, Al-Qur'an memberikan petunjuk: "Apabila engkau menyedekahkannya maka hal itu lebih baik bagimu..." (QS. Al-Baqarah [2]: 280).


Langkah yang harus segera diambil setelah bank mendeteksi adanya gejala kredit atau pembiayaan yang bermasalah adalah menentukan seberapa besar masalah yang sedang dihadapi nasabah. Hal ini diperlukan karena cara penanganan selanjutnya akan ditentukan oleh tingkat besar kecilnya masalah tadi. Selain itu, cara bank menangani kredit atau pembiayaan yang bermasalah juga dipengaruhi oleh:
  1. Jumlah dana milik nasabah yang diharapkan dapat dipengaruhi untuk mengembalikan kredit atau pembiayaan.
  2. Jumlah kredit atau pembiayaan yang dipinjam nasabah dari kreditor lain.
  3. Status dan nilai jaminan yang telah terikat.
  4. Sikap nasabah dalam menghadapi bank.


PBI No. 13/09/PBI/2011 tentang Perubahan atas PBI No. 10/18/PBI/2008 tentang Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah memberikan pedoman bahwa pelaksanaan restrukturisasi di bank syariah dan unit usaha syariah harus berpedoman pada prinsip kehati-hatian yang bersifat universal yang berlaku di perbankan, serta sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan perbankan syariah di Indonesia dengan tetap berpedoman pada prinsip syariah. Restrukturisasi pembiayaan adalah upaya yang dilakukan bank dalam rangka membantu nasabah agar dapat menyelesaikan kewajibannya, antara lain melalui:

1) Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan jadwal pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya;


2) Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh persyaratan pembiayaan tanpa menambah sisa pokok kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada bank, antara lain meliputi:
  • Perubahan jadwal pembayaran;
  • Perubahan jumlah angsuran;
  • Perubahan jangka waktu;
  • Perubahan nisbah dalam pembiayaan mudharabah atau musyarakah;
  • Perubahan proyeksi bagi hasil dalam pembiayaan mudharabah atau musyarakah; dan/atau
  • Pemberian potongan.

3) Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan persyaratan pembiayaan yang antara lain meliputi:
  • Penambahan dana fasilitas pembiayaan bank;
  • Konversi akad pembiayaan;
  • Konversi pembiayaan menjadi surat berharga syariah berjangka waktu menengah; dan atau
  • Konversi pembiayaan menjadi pernyataan modal sementara pada perusahaan nasabah yang dapat disertai dengan rescheduling atau reconditioning.

Kemudian dalam Pasal 5 PBI No. 13/09/PBI/2011 diatur pedoman umum mengenai pelaksanaan restrukturisasi pembiayaan, yaitu sebagai berikut:

1) Restrukturisasi pembiayaan hanya dapat dilakukan untuk nasabah yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
  • Nasabah mengalami penurunan kemampuan pembayaran; dan
  • Nasabah memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi kewajiban setelah restrukturisasi.


2) Restrukturisasi untuk pembiayaan konsumtif hanya dapat dilakukan untuk nasabah yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
  • Nasabah mengalami penurunan kemampuan pembayaran; dan
  • Terdapat sumber pembayaran angsuran yang jelas dari nasabah dan mampu memenuhi kewajiban setelah restrukturisasi.

3) Restrukturisasi pembiayaan wajib didukung dengan analisis dan bukti-bukti yang memadai serta didokumentasikan dengan baik.


Kebijakan dan prosedur restrukturisasi pembiayaan mencakup paling kurang sebagai berikut:
  1. Penetapan satuan kerja khusus untuk menangani restrukturisasi pembiayaan.
  2. Penetapan limit wewenang memutus pembiayaan yang direstrukturisasi.
  3. Kriteria pembiayaan yang dapat direstrukturisasi.
  4. Sistem dan standard operating procedure restrukturisasi pembiayaan, termasuk penetapan penyerahan pembiayaan yang akan direstrukturisasi kepada satuan kerja khusus dan penyerahan kembali pembiayaan yang telah berhasil direstrukturisasi kepada kerja pengelola pembiayaan.
  5. Sistem informasi manajemen pembiayaan yang direstrukturisasi.
  6. Penetapan jumlah maksimal pelaksanaan restrukturisasi pembiayaan terhadap pembiayaan yang tergolong non-lancar (kurang lancar, diragukan, dan macet). Batas jumlah maksimal dimaksud berlaku untuk keseluruhan pelaksanaan restrukturisasi pembiayaan dengan kolektibilitas non-lancar bukan untuk masing-masing kolektibilitas dari pembiayaan non-lancar.
  7. BUS (bank umum syariah) atau UUS (unit usaha syariah) melakukan penyempurnaan terhadap kebijakan dan prosedur restrukturisasi pembiayaan apabila berdasarkan hasil analisis Bank Indonesia, kebijakan dan prosedur tersebut dinilai kurang memerhatikan prinsip kehati-hatian dan/atau tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 10/34/DPbS, 22 Oktober 2008 Perihal: Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah diatur secara lebih teknis, yakni bahwa:

1) Pembiayaan yang akan direstrukturisasi dianalisis berdasarkan:
  • Prospek usaha nasabah dan/atau kemampuan membayar sesuai proyeksi arus kas untuk nasabah pembiayaan usaha produktif; atau
  • Kemampuan membayar sesuai proyeksi arus kas untuk nasabah pembiayaan non produktif.

2) Pembiayaan kepada pihak terkait yang akan direstrukturisasi dianalisis oleh konsultan keuangan independen yang memiliki izin usaha dan reputasi yang baik.

3) Analisis yang dilakukan BUS atau UUS dan konsultan keuangan independen terhadap pembiayaan yang direstrukturisasi dan setiap tahapan dalam pelaksanaan restrukturisasi pembiayaan didokumentasikan secara lengkap dan jelas.

4) Restrukturisasi pembiayaan dituangkan dalam addendum akad pembiayaan dan/atau melakukan akad pembiayaan yang baru mengikuti karakteristik masing-masing bentuk pembiayaan.

5) Ketentuan yang dimaksud pada angka 1, 2, 3, dan 4 juga diterapkan dalam restrukturisasi pambiayaan yang kedua dan ketiga.

Penerapan prinsip syariah dalam proses restrukturisasi pembiayaan sebagaimana diperintahkan oleh PBI No. 13/09/PBI/2011 diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia No: 10/34/DPbS sebagai berikut:
  1. BUS dan UUS dapat mengenakan ganti rugi (ta'widh) kepada nasabah dalam rangka restrukturisasi pembiayaan.
  2. Ganti rugi ditetapkan sebesar biaya riil yang dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yang seharusnya dibayarkan oleh nasabah dan bukan potensi kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss/al-furshah al-dha-i'ah).
  3. Perubahan-perubahan yang disepakati antara BUS atau UUS dengan nasabah dalam restrukturisasi pembiayaan, termasuk penetapan ganti rugi harus dituangkan dalam addendum akad pembiayaan.
  4. Dalam hal restrukturisasi pembiayaan dilakukan melalui konversi akad, maka harus dibuat akad pembiayaan baru.

Mengenai ganti rugi, sebagaimana yang dimaksud pada angka 2 di atas, juga diatur dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi (Ta'widh). Substansi dari fatwa tersebut yaitu:
  1. Ganti rugi (ta'widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain.
  2. Kerugian yang dapat dikenakan ta'widh adalah kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas.
  3. Kerugian riil adalah biaya-biaya riil yang dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yang seharusnya dibayarkan.
  4. Besar ganti rugi (ta'widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss atau al-furshah al-dha-i'ah).
  5. Ganti rugi (ta'widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi (akad) yang menimbulkan utang piutang (dain), seperti salam, istishna', serta murabahah dan ijarah.
  6. Dalam akad mudharabah dan musyarakah, ganti rugi hanya boleh dikenakan oleh shahibul maal atau salah satu pihak dalam musyarakah apabila bagian keuntungannya sudah jelas tetapi tidak dibayarkan.

Ketentuan khusus tentang ganti rugi (ta'widh) yang diatur dalam fatwa tersebut, yaitu bahwa:
  1. Ganti rugi yang diterima dalam transaksi di LKS dapat diakui sebagai hak (pendapatan) bagi pihak yang menerimanya.
  2. Jumlah ganti rugi besarnya harus sesuai dengan kerugian riil dan tata cara pembayarannya tergantung kesepakatan para pihak.
  3. Besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam akad.
  4. Pihak yang cidera janji bertanggung jawab atas biaya perkara dan biaya lainnya yang timbul akibat proses penyelesaian perkara.

Penutup

Dengan demikian, adanya restrukturisasi pembiayaan lebih ditujukan kepada nasabah yang mengalami penurunan kemampuan membayar, namun dinilai masih memiliki prospek usaha dan mempunyai kemampuan untuk membayar setelah restrukturisasi. Langkah ini merupakan langkah yang mula-mula (first way out) harus ditempuh oleh bank syariah. Bank syariah jangan serta merta melakukan eksekusi jaminan, manakala menemukan nasabah yang pembiayaannya mengalami kesulitan dalam menunaikan kewajiban membayar angsuran.
Rizki Gusnandar
Rizki Gusnandar Kelemahan terbesar kita adalah bersandar pada kepasrahan. Jalan yang paling jelas menuju kesuksesan adalah selalu mencoba, setidaknya satu kali lagi - Thomas A. Edison.