Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Apa Itu Badan Arbitrase Syariah Nasional?

Apa Itu Badan Arbitrase Syariah Nasional?

Kata arbitrase berasal dari bahasa latin, yaitu arbitrare yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Walaupun dari definisi ini menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah berdasarkan pada kebijaksanaan, akan tetapi norma hukumlah yang menjadi sandaran utama dalam menyelesaikan sengketa antarsubjek hukum tersebut.

Asyhadie (2005) menyatakan bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan mentaati keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka pilih. Kemudian, dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa disebutkan bahwa arbitrase adalah penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa.


Dari beberapa definisi tersebut menunjukkan adanya beberapa unsur yang ada dalam arbitrase, yaitu:
  1. Adanya kesepakatan untuk menyerahkan penyelesaian sengketa, baik yang akan ataupun yang sudah terjadi, kepada seorang atau beberapa orang pihak ketiga di luar pengadilan umum untuk mendapatkan putusan.
  2. Penyelesaian sengketa yang bisa diselesaikan adalah sengketa yang menyangkut hak pribadi yang dapat dikuasai sepenuhnya oleh para pihak.
  3. Putusan yang dihasilkan oleh arbitrase merupakan putusan akhir dan mengikat (final and binding).

Ketentuan pada nomor tiga menjadi tidak berlaku apabila dalam putusan arbitrase yang bersangkutan terdapat cacat materiil di dalamnya. Dengan kata lain, telah terjadi kekhilafan mengenai subjeknya atau kekhilafan terhadap pokok perselisihan.


Arbitrase merupakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang saat ini banyak dipilih oleh para pelaku usaha. Hal yang menjadi pertimbangan mengapa mereka memilih forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara lain adalah adanya ketidakpercayaan terhadap pengadilan, proses arbitrase yang relatif cepat dan murah, pelaksanaannya yang menjunjung tinggi asas konfidensialitas (kerahasiaan), para pihak bebas memilih arbiter dengan pertimbangan keahlian (expert) dan yang lebih penting lagi adalah para pihak bebas memilih hukum yang akan dipakai dalam proses arbitrase dan putusan yang dihasilkan bersifat final and binding.

Sejarah Badan Arbitrase Syariah Nasional

Secara garis besar, arbitrase ini digolongkan menjadi dua macam, yaitu arbitrase ad hoc dan arbitrase institusional. Arbitrase ad hoc adalah arbitrase yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat setelah sengketa terjadi (akta kompromis), di mana arbiter yang dipilih adalah arbiter yang bukan dari suatu insitusi arbitrase yang ada. Sedangkan arbitrase institusional adalah arbitrase yang sudah permanen dan memiliki prosedur baku dalam penyelesaian sengketa, seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas), Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI), ICSID, dan Arbitration of ICC.


Nama sebuah badan arbitrase tidak berarti menunjukkan kompetensi absolut dari suatu lembaga arbitrase, melainkan lebih menunjukkan bidang keahlian (expertise) yang dimiliki oleh badan arbitrase tersebut. Kompetensi absolut dari suatu lembaga arbitrase ditentukan oleh ada tidaknya perjanjian yang memuat klausula arbitrase, baik yang berupa pactum de compromittendo ataupun akta kompromis.

Ketentuan mengenai penyelesaian sengketa atau perselisihan di dalam fatwa-fatwa DSN menyebutkan bahwa jika terjadi perselisihan antara pihak Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dengan nasabah maka persoalan tersebut akan diselesaikan dengan cara musyawarah dan apabila tidak mencapai mufakat selanjutnya akan diselesaikan melalui Basyarnas yang dibentuk sejak tahun 2003. Basyarnas adalah badan arbitrase syariah satu-satunya yang berwenang memeriksa dan memutus sengketa muamalah yang timbul dalam perdagangan, industri, jasa, dan keuangan setelah diperjanjikan oleh para pihak.


Keberadaan Basyarnas sebelumnya bernama Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI) yang didirikan pada tanggal 21 Oktober 1993. Bergantinya nama BAMUI menjadi Basyarnas dengan alasan (Kurniawan, 2004):
  1. Kedudukan BAMUI sebagai bentuk badan hukum yayasan tidak sesuai lagi sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
  2. Bahwa anggota Pembina dan Pengurus BAMUI sudah banyak yang meninggal dunia dan oleh karena itu perlu ditetapkan susunan dan personalia baru.
  3. Bahwa Rapat Kerja Nasional MUI tanggal 23-26 Desember 2002 merekomendasikan perubahan nama BAMUI menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional.
  4. Adanya keinginan untuk menghilangkan asumsi masyarakat bahwa BAMUI ada hubungan dengan Bank Muamalat Indonesia (BMI) dalam arti kata hanya diperuntukkan bagi BMI saja ataupun merupakan bagian dari manajemen BMI.


Keunggulan menyelesaikan sengketa dengan sarana Arbitrase Syariah adalah sebagai berikut:
  1. Arbitrase Islam memberikan kepercayaan kepada para pihak karena penyelesaiannya secara terhormat dan bertanggung jawab.
  2. Para pihak menaruh kepercayaan yang besar kepada arbiter karena ditangani oleh orang-orang yang ahli di bidangnya (expertise).
  3. Proses pengambilan putusannya cepat tanpa melalui prosedur yang berbelit-belit serta dengan biaya yang murah karena terdapat putusan arbitrase yang bersifat final and binding.
  4. Para pihak menyerahkan penyelesaian persengketaannya secara sukarela kepada orang-orang (badan) yang dipercaya, sehingga para pihak juga secara sukarela akan melaksanakan putusan arbiter sebagai konsekuensi atas kesepakatan mereka mengangkat arbiter karena hakikat kesepakatan itu mengandung janji dan setiap janji itu harus ditepati.
  5. Di dalam proses arbitrase pada hakikatnya terkandung perdamaian yang merupakan keinginan nurani setiap orang.


Menurut Djauhari (2006), tujuan dari dibentuknya Basyarnas sebagai forum arbitrase yang ditujukan untuk menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syariah adalah:
  1. Menyelesaikan perselisihan/sengketa-sengketa keperdataan dengan prinsip mengutamakan perdamaian/islah (atas dasar ketentuan Al-Qur'an Surat Al-Hujurat [49]: 9 dan An Nisa [4]: 128).
  2. Memberikan penyelesaian secara adil dan cepat dalam sengketa muamalah/perdata yang timbul dalam bidang perdagangan, industri, jasa, dan lain-lain.
  3. Atas permintaan pihak-pihak dalam suatu perjanjian dapat memberikan suatu pendapat yang mengikat mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut.
  4. Menyelesaikan sengketa perdata di antara bank-bank/lembaga keuangan syariah dengan nasabah/mitra kerjanya yang menjadikan syariah Islam sebagai dasarnya.

Dengan demikian, lingkup perkara yang dapat diselesaikan Basyarnas tidak hanya pada sengketa antara nasabah dan perbankan syariah, melainkan juga sengketa keperdataan lain yang dikuasai sepenuhnya oleh para pihak. Sengketa lain yang juga dapat diselesaikan melalui Basyarnas, antara lain yakni asuransi syariah, pasar modal syariah, dan bisnis syariah.


Sebelumnya telah disebutkan bahwa untuk mengikat suatu lembaga arbitrase, maka para pihak harus menjanjikannya terlebih dahulu dalam bentuk perjanjian arbitrase, baik sebelum terjadi sengketa maupun sesudah terjadi sengketa. Mengenai klausula arbitrase ini, Nurdin (2006) membedakannya menjadi dua macam, yaitu:

1. Bentuk Umum

Rumusan klausula pada dasarnya berbunyi: "Segala atau setiap sengketa yang timbul dari perjanjian, para pihak sepakat menyelesaikannya melalui arbitrase". Adanya kata kunci 'segala' dan 'setiap' menunjukkan bahwa sengketa apa saja secara mutlak menjadi yurisdiksi arbitrase sehingga berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili.

2. Bentuk Terbatas atau Parsial

Biasanya, klausula yang bersifat rinci disebut secara satu persatu jenis sengketa yang disepakati untuk diselesaikan melalui arbitrase. Contoh klausulanya adalah "sengketa mengenai perbedaan penafsiran pelaksanaan perjanjian" atau "hanya terbatas mengenai sengketa pengakhiran perjanjian".


Dalam hal rumusan klausula arbitrase dengan bentuk terbatas atau parsial, ketentuan Pasal 3 dan Pasal 11 tidak otomatis diterapkan secara general dan absolut. Akan tetapi, harus diteliti dengan seksama, apakah sengketa yang terjadi termasuk jenis sengketa yang disebut dalam klausula, dengan acuan penerapan yurisdiksi:
  1. Apabila sengketa yang terjadi termasuk ruang lingkup yang disebut atau yang dirinci dalam klausula, maka yang berwenang menyelesaikannya adalah arbitrase, atas alasan sengketa yang terjadi termasuk yurisdiksi arbitrase berdasarkan kesepakatan yang ditegaskan dalam perjanjian.
  2. Sebaliknya, apabila sengketa yang terjadi berada di luar ruang lingkup klausula arbitrase, yang berwenang menyelesaikannya adalah Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama dalam hal sengketa di bidang ekonomi syariah.

Prosedur Beracara di Badan Arbitrase Syariah Nasional

Ketentuan umum mengenai prosedur penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase ada pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 disebutkan bahwa Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.


Jadi, secara tegas dikatakan bahwa arbitrase adalah penyelesaian sengketa di luar peradilan umum yang didasarkan pada suatu perjanjian arbitrase. Dalam hal ini bisa dibuat sebelum terjadinya sengketa (pactum de compromittendo) maupun sesudah terjadinya sengketa (akta kompromis).

Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Pasal 1 ayat 3). Adapun sengketa yang dapat diselesaikan melalui mekanisme arbitrase adalah sengketa-sengketa tertentu yang memenuhi syarat sebagaimana yang tertuang dalam ketentuan Pasal 5 UUAAPS, yaitu:
  1. Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
  2. Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.

UUAAPS merupakan ketentuan umum yang mengatur masalah arbitrase, sedangkan dalam praktiknya terdapat badan-badan arbitrase yang secara spesifik ditujukan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa tertentu oleh pihak-pihak tertentu. Adapun badan arbitrase khusus itu antara lain adalah Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI) atau yang saat ini dinamakan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) yang didirkan oleh Majelis Ulama Indonesia.

Basyarnas berwenang untuk menyelesaikan sengketa muamalah yang dialami oleh umat Islam, misalnya sengketa yang terjadi antara pihak bank syariah dengan nasabahnya. Tentu saja kewenangan tersebut akan timbul setelah para pihak membuat perjanjian arbitrase terlebih dahulu. Lembaga arbitrase, baik nasional maupun internasional, secara umum pada dasarnya mempunyai yurisdiksi sebagai berikut:
  1. Dispute resolution: Penyelesaian sengketa yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri, jasa, dan lain-lain di mana para pihak sepakat secara tertulis untuk menyerahkan penyelesaiannya kepada suatu lembaga/badan arbitrase.
  2. Legal binding opinion: Memberikan suatu pendapat yang mengikat tanpa adanya suatu sengketa mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian atas permintaan para pihak.

Seperti yang kita ketahui bahwa badan arbitrase pertama yang berdiri di Indonesia adalah Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). BANI didirikan oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) pada tanggal 3 Desember 1977 sebagai sebuah lembaga yang secara khusus memberikan penyelesaian sengketa secara adil dan cepat dalam sengketa perdagangan, industri, dan keuangan, baik yang bersifat nasional maupun internasional (Harianto, 2003).

Dalam Pasal 1 Peraturan Prosedur BANI, disebutkan bahwa apabila para pihak dalam suatu perjanjian atau transaksi bisnis secara tertulis sepakat membawa sengketa yang timbul di antara mereka sehubungan dengan perjanjian atau transaksi bisnis yang bersangkutan ke arbitrase di hadapan BANI atau menggunakan Peraturan Prosedur BANI berdasarkan peraturan tersebut, dengan memerhatikan ketentuan-ketentuan khusus yang disepakati secara tertulis oleh para pihak, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang yang bersifat memaksa dan kebijaksanaan BANI, maka BANI memiliki kompetensi absolut untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara para pihak tersebut. Kemudian, dalam Peraturan Prosedur tersebut disebutkan pula bahwa penyelesaian sengketa secara damai di BANI dilandasi dengan iktikad baik para pihak dengan berlandaskan tata cara kooperatif dan non-konfrontatif.

Masing-masing lembaga arbitrase yang ada dalam menjalankan tugas dan kewenangannya harus berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa. Di samping itu juga harus berpedoman pada rule and procedure dari institusi arbitrase yang bersangkutan.

Persamaan yang ada pada lembaga-lembaga arbitrase, baik domestik maupun internasional, adalah bahwa putusan yang dihasilkannya bersifat legal, final and binding. Artinya, ia langsung mempunyai kekuatan mengikat dan padanya tidak dapat dilakukan upaya hukum apa pun.

Pengecualian terjadi apabila terdapat kekhilafan di dalamnya mengenai suatu fakta. Dengan kata lain, ditemukan bukti baru (novum) yang sangat menentukan bagi putusan yang diambil, di mana pada saat putusan diambil pertama kali fakta itu memang belum terungkap.

Dengan adanya suatu putusan yang final and binding ini, maka apabila pihak yang wajib berprestasi tidak melakukannya secara sukarela, pihak yang lain berhak meminta kepada Pengadilan Negeri untuk membuat suatu penetapan yang dapat memaksa pihak lain itu berprestasi dengan semestinya. Penetapan dari ketua pengadilan inilah yang dikenal dengan istilah fiat eksekusi.

PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah, sebagaimana yang telah diubah dengan PBI No. 10/16/PBI/2008, terkait dengan penyelesaian sengketa perbankan syariah menyebutkan bahwa:
  1. Apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana yang tertuang dalam akad antara bank dengan nasabah atau jika terjadi sengketa antara bank dengan nasabah, maka penyelesaiannya dilakukan melalui musyawarah.
  2. Apabila melalui musyawarah tersebut masih tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaian sengketa selanjutnya dapat dilakukan antara lain melalui mediasi, termasuk mediasi perbankan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  3. Apabila penyelesaian sengketa melalui mediasi masih juga tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaian sengketa berikutnya dapat dilakukan melalui mekanisme arbitrase syariah atau melalui lembaga peradilan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan pada ketentuan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa apabila terjadi sengketa antara bank dengan nasabah, lebih dulu diselesaikan melalui jalur musyawarah mufakat. Akan tetapi, apabila penyelesaian melalui jalur musyawarah tidak membuahkan hasil, maka sengketa tersebut dapat diselesaikan melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa yakni berupa lembaga mediasi atau langsung melalui badan arbitrase syariah, yang mana dalam konteks ini adalah Basyarnas.

Untuk itu, di bawah ini akan dibahas khusus mengenai prosedur dan tata cara beracara di Basyarnas sebagai sebuah badan arbitrase yang diharapkan mampu secara efektif dan efisien menyelesaikan sengketa di bidang muamalah Islam, termasuk (tetapi tidak terbatas) pada sengketa yang terjadi antara pihak bank syariah dan pihak nasabah yang terbit dari perjanjian antara bank dan nasabah tersebut. Adapun prosedur penyelesaian sengketa yang ditempuh oleh Badan Arbitrase Nasional (Basyarnas), yaitu sebagai berikut (Umam, 2016):

1. Pendaftaran
  • Sebelum sengketa (pactum de compromittendo), dengan mencantumkan "arbitration clause" atau perjanjian arbitrase yang terpisah dari perjanjian pokok.
  • Setelah sengketa (akta kompromis)

2. Prosedur Penyelesaian
  • Pendaftaran surat permohonan arbitrase yang memuat: Nama lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan para pihak, uraian singkat tentang sengketa, dan tuntutan.
  • Dengan melampirkan perjanjian khusus yang menyerahkan penyelesaian sengketa kepada Basyarnas atau perjanjian pokok yang memuat arbitration clause.
  • Penetapan/penunjukan arbiter (tunggal/majelis).
  • Penawaran perdamaian, yang apabila diterima arbiter membuatkan akta perdamaian dan apabila tidak diterima, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan.
  • Pemeriksaan sengketa.
  • Putusan arbitrase.

3. Eksekusi Putusan Arbitrase
  • Putusan yang sudah ditandatangani arbiter bersifat final and binding.
  • Salinan autentik putusan diserahkan dan didaftarkan di kepaniteraan PN (Pengadilan Negeri).
  • Bilamana putusan tidak dilaksanakan secara sukarela, maka dilaksanakan berdasarkan perintah ketua PN.

Achmad Djauhari mengatakan bahwa prinsip-prinsip persidangan dalam Basyarnas yang harus diperhatikan oleh para pihak adalah sebagai berikut:
  1. Pemeriksaan perkara dilakukan oleh Majelis Arbiter.
  2. Sederhana dan penuh kekeluargaan guna mencapai kesepakatan penyelesaian sengketa secara adil, bijaksana dan disepakati bersama.
  3. Sidang-sidang dilakukan secara tertutup.
  4. Penyelesaian perkara mengutamakan prinsip "damai/islah".
  5. Jika perdamaian tidak tercapai, proses pemeriksaan dilanjutkan sebagaimana halnya pemeriksaan di Pengadilan resmi dengan memberikan kesempatan kepada para pihak secara adil/seimbang.
  6. Putusan diambil atas dasar musyawarah Majelis Arbiter dengan mengindahkan tuntutan syariat Islam.

Penutup

Dengan telah diputusnya suatu sengketa oleh Basyarnas, maka konsekuensi yuridisnya adalah putusan tersebut harus dilaksanakan oleh para pihak dengan penuh iktikad baik. Sekiranya terdapat salah satu pihak tidak mau melaksanakannya, maka pihak yang lain dapat meminta penetapan dari ketua Pengadilan Agama.
Rizki Gusnandar
Rizki Gusnandar Kelemahan terbesar kita adalah bersandar pada kepasrahan. Jalan yang paling jelas menuju kesuksesan adalah selalu mencoba, setidaknya satu kali lagi - Thomas A. Edison.