Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Landasan Hukum Hiwalah sebagai Produk Perbankan Syariah

Landasan Hukum Hiwalah sebagai Produk Perbankan Syariah

Hiwalah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam istilah Islam merupakan pemindahan beban utang dari muhil (orang yang berutang) menjadi tanggungan muhal 'alaih atau orang yang berkewajiban membayar utang.

Menurut Zainul Arifin, hiwalah adalah akad pemindahan utang atau piutang suatu pihak kepada pihak lain. Dengan demikian, di dalamnya terdapat tiga pihak, yaitu pihak yang berutang (muhil atau madin), pihak yang memberi utang (muhal atau da'in), dan pihak yang menerima tambahan (muhal 'alaih).

Hanafi membedakan hiwalah ini menjadi dua jenis, yaitu hiwalah mutlaqah dan muqayyadah. Hiwalah mutlaqah yaitu seseorang memindahkan utangnya kepada orang lain dan tidak mengaitkan dengan utang yang ada pada orang itu.

Menurut tiga mazhab lain, kalau muhal 'alaih tidak punya utang kepada muhil, maka sama dengan kafalah dan ini harus dengan keridhaan tiga pihak. Adapun hiwalah muqayyadah yaitu seseorang memindahkan utang dan mengaitkan dengan piutang yang ada padanya.

Dalam mengaplikasikan akad hiwalah sebagai produk perbankan syariah terdapat tiga pihak yang di antaranya diikat dengan perjanjian. Ketiga pihak tersebut yaitu bank sebagai faktor (muhal 'alaih), nasabah selaku klien (muhil), dan pihak yang mempunyai utang kepada nasabah (customer).

Landasan syariah atas hiwalah dapat dijumpai dalam hadis dan ijma'. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu'anhu bahwa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:
Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kezaliman. Jika salah seorang dari kamu diikutkan (di-hiwalah-kan) kepada orang yang mampu, maka terimalah hiwalah itu".

Oleh karenanya, dalam ijma' telah tercapai kesepakatan ulama tentang kebolehan hiwalah. Sebab, itu sejalan dengan kaidah dasar di bidang muamalah bahwa semua bentuk muamalah diperbolehkan kecuali ada dalil yang tegas melarangnya (Umam, 2017).


Selain itu, hiwalah juga telah mendapatkan dasar hukum dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dengan diundangkanya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, hiwalah sudah mendapatkan dasar hukum yang lebih kokoh.

Meskipun hiwalah muthlaqah dibolehkan, tetapi dalam dunia komersial kemungkinannya kecil untuk dilaksanakan karena tingginya risiko pembiayaan. Jadi, dalam praktik bisnis yang dilaksanakan adalah hiwalah muqayyadah karena kejelasan dan risikonya yang dapat dipagari (Karim, 2001).

Adapun manfaat atau keuntungan yang diperoleh jika memakai mekanisme hiwalah adalah sebagai berikut:
  1. Memungkinkan penyelesaian utang dan piutang dengan cepat dan simultan.
  2. Tersedianya talangan untuk dana hibah yang membutuhkan.
  3. Dapat menjadi salah satu fee-based income (sumber pendapatan non pembiayaan) bagi bank syariah.
  4. Bagi pihak nasabah selaku klien bank akan mendapatkan instant cash sehingga dapat meningkatkan cash flow perusahaannya.

Hiwalah bisa dijadikan sebagai suatu cara untuk mendapatkan fresh money bagi pihak nasabah. Namun, risiko yang harus diwaspadai oleh pihak bank yaitu adanya kecurangan nasabah dengan memberikan invoice palsu atau wanprestasi (ingkar janji) untuk memenuhi kewajiban hiwalah ke bank.

Teknis penerapan akad hiwalah sebagai produk perbankan syariah di bidang jasa dapat berpedoman pada SEBI No. 10/14/SPbS tertanggal 17 Maret 2008. Pasalnya, SEBI memberikan ketentuan bagi hiwalah mutlaqah dan muqayyadah.

Dalam bentuk pemberian jasa pengalihan utang atas dasar akad hiwalah mutlaqah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut:
  • bank bertindak sebagai pihak yang menerima pengalihan atas utang nasabah kepada pihak ketiga;
  • bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik pemberian jasa pengalihan utang atas dasar akad hawalah, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk bank dan penggunaan data pribadi nasabah;
  • bank wajib melakukan analisis atas rencana pemberian jasa pengalihan utang atas dasar akad hawalah bagi nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisis atas karakter (character) dan/atau aspek usaha yang di antaranya mencakup analisis kapasitas usaha (capacity), keuangan (capital), dan prospek usaha (condition);
  • bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa akad pengalihan utang atas dasar hawalah;
  • nilai pengalihan utang harus sebesar nilai nominal;
  • bank menyediakan dana talangan (qardh) sebesar nilai pengalihan utang nasabah kepada pihak ketiga;
  • bank dapat meminta imbalan (ujrah) atau fee dalam batas kewajaran kepada nasabah; dan
  • bank dapat mengenakan biaya administrasi dalam batas kewajaran kepada nasabah.

Kemudian, dalam bentuk pemberian jasa pengalihan utang atas dasar akad hawalah muqayyadah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut:
  • ketentuan kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pemberian jasa pengalihan utang atas dasar akad hawalah mutlaqah;
  • bank bertindak sebagai pihak yang menerima pengalihan atas utang nasabah kepada pihak ketiga, di mana sebelumnya bank memiliki utang kepada nasabah; dan
  • jumlah utang nasabah kepada pihak ketiga yang bisa diambil alih oleh bank paling besar sebanyak nilai utang bank kepada nasabah.


Demikianlah ulasan tentang landasan hukum hiwalah sebagai produk perbankan syariah. Dalam transaksi syariah, perpindahan pembayaran utang atau hiwalah adalah salah satu hal yang sah dilakukan selama tetap memenuhi asas syariah.
Rizki Gusnandar
Rizki Gusnandar Kelemahan terbesar kita adalah bersandar pada kepasrahan. Jalan yang paling jelas menuju kesuksesan adalah selalu mencoba, setidaknya satu kali lagi - Thomas A. Edison.